DDI dan Kebijakan Kependudukan
Oleh
Nur khaliq
Ketua Umum Pimpinan Pusat IMDI
“Duniia
semakin padat dan sesak”. Kalimat ini sering muncul untuk menggambarkan pertumbuhan
penduduk dunia yang begitu cepat dan nyaris tidak terkontrol.
Jumlah
populasi dunia biasa dibilang meledak pasca perang dunia berakhir dan datangnya
masa perdamaian abadi. Kecendrungan ini sebetulnya natural dan alaimyah saja, jika
menilik kecendrungan hewan semisal kelinci yang berangak banyak dimasa-masa
damai, dan tidak ingin beranak dimasa stress karna perburuan atau factor lain.
Menurut
catatan archeology, manusia mendiami bumi diperkirakn 5 juta tahun lalu dengan
petumbuhan populasi yang sangat lambat. Tercatat, dua ribu tahun lalu, penduduk
bumi hanya sekitar 250 juta. Selanjutnya, di butuhkan 1600 tahun kemudian
barulah populasi manusia biasa mencapai dua kali lipatnya yaitu 500 juta. Sejak
itu, pertumbuhan populasi dunia mulai mengalami percepatan dan semakin cepat.
Hingga akhirnya, pada tahun 1979 jumlah populasi dunia mencapai 4 milyar, dan
sekarang, penduduk dunia telah mencapai 8 milyar dan akan mencapai 9 milyar
decade mendatang.
Organisasi
kesehatan dunia (WHO) mencatat pertumbuhan penduduk bumi rata-rata 1,7% di
tahun 1990 dan terus meningkat hingga rata-rata 2% di decade setelahnya. Dengan
kata lain, ada sekitar 3 bayi yang lahir setiap detiknya, atau sekitar ¼ juta
bayi yang lahir setiap harinya, atau sekitrar -2 jutaan per-minggunya.
Saat
ini, penduduk terbanyak dunia di pimpin oleh China dengan sekitar 1,4 milyar
dan disusul oleh India dengan 1,3 milyar. Posisi ke tiga di tempati oleh USA
dengan 250 juta, serta Indonesia di posisi ke empat dengan sekitar 240 juta
penduduk.
Dimasa
depan, jumlah penduduk negara-negara diatas akan terus berlipat ganda.
Indonseia sendiri diperkirakan akan berpenduduk 321 juta di tahun 2050, dan
diperkirakan 100 tahun mendatang akan mencapai 9 milyar sedang USA akan
mencapai 10 milyar dan China mencapai 70 milyar. Para ahli bahkan
memperkirakan, 500 tahun mendatang, setiap satu orang hanya akan memiliki
seluas pekarangan rumah -tanah kering- untuk ditinggali.
Selain
itu, para ahli juga memperkirakan bahwa tahun 2050 mendatang, jumlah populasi
non produktif atau orang-orang tua dengan rentang usia 60 tahunan akan mencapai
22 % dari jumlah keseluruhan populasi dunia, atau sekitar 650 juta orang.
Pencapain populasi lansia ini adalah momentum pertama kalinya dalam sejarah peradaban
manusia dimana jumlah lansia (usia 60 tahunan) akan sama dengan jumlah non
produktif anak- anak (usia 0-14 tahunan).
Pertumbuhan
populasi dunia yang tidak terkontrol membawa dampak yang buruk baik bagi alam
maupun manusia itu sendiri. Bebrapa ahli yang malakukan penelitian terhadap
over populasi tikus di laboratorium menemukan kecendrungan prilaku anti social tikus
pada tingkat kepadatan tertentu. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa,
berbagai tindak kekerasa seperti perkelahian, pembunuhan, pemerkosasn, penelantaran
anak, aborsi, perampokan, penyalah gunaan obat-obatan, kelaparan, penykit
menular, wabah, hingga kanibalisme, berkorelasi kuat dengan over populasi.
Meski perdebatan seputar hasil penelitian ini masih tetap berlangsung hingga
saat ini, -banyak ahli yang masih tetap optimistic perbedaan tikus laboratorium
dengan manusia adalah pada kemampuanya kita untuk bekerjasama dan bersama-sama
membangun dan melastarikan lingkungan yang mampu menyokong kelangsungan hidup spesies
manusia-. Disisi yang berlawanan, banyak pula intelektual yang pessimistic dan
memprediksi akhir cerita manusia adalah “kelaparan, musnah karna penyakit
menular, ataukah karna perang nuklir”. Dalam Al-Qur’an, pessimistic ini
diingatkan pada surah Ar-Rum: 41. Artinya: “telah nampak kerusakan didarat dan dilaut karna perbuatan tangan
manusia”
Oleh
karna kondisi mendesak tersebut, maka oraganisasi perserikatan bangsa-bangsa/United
Nation (UN) semakin gencar menghimbau dan merangkul seluruh negara, untuk bahu
membahu bersama merumuskan agenda-agenda Sustainable Development untuk
memastikan kelangsungan hidup bersama dan pembangunan yang ramah lingkungan.
Agenda-agenda
global berupa peningkatan bidang pendidikan dan kesehatan, lingkungan lestari,
flora dan fauna terlindungi, air yang bersih, sanitasi, keadilan, memerangi
kelaparan global, dll gencar dilakukan. Meski
tidak menafikan kecurigaan banyak orang tentang kepentingan terselubung
kapitalisme dan internasionalisme melanggengkan neoimprealisme dan hegemony penghisapan.
Lebih
lanjut dari itu, pembacaan yang tepat pada kebijakan kependudukn dan demografi
nampaknya juga pernah menguntungkan DDI dalam usaha pengembangan organisasinya.
Tercatat, peningkatan jumlah santri di pesantren-pesantren DDI berbarengan
dengan masa-masa “Baby Boom” (peningkatan pesat kelahiran anak-anak) sekitaran
tahun 1980an-90an. Namun setelah masa itu, kemampuan DDI dalam membaca arah
zaman juga semakin menurun. hasilnya, era kebesaran DDI ini nampaknya hanya
berlangsung pada fase founding futher/fase perintis. Era selanjutnya
yaitu fase konsolidasi (pasca sepeninggalan para pendiri), orgnissi ini ternyata
disibukkan dengan berbagai penyesuaian kondisi. Setelah fase konsolidasi usai,
tibalah kita pada fase rekonsiliasi atau era “kebersamaan”, yang biarlah
-waktu pula yang akan menguji keabsahannya-.
Akhirnya,
satu hal yang tetap pasti dan tak terbantahkan, bahwa “masadepan DDI ada pada
kaderisasi dan regenerasi”. Semakin besar perhatian pada pasal ini, berarti
semakin berseri pula wajah organisasi di masa depan. Sebaliknya, semakin
sedikit perhatian kita pada pasal ini, maka semakin miris pula kita menatap
masadepan.
Minallahil mustaan wa ilayhi
tiqlan.