Minggu, 11 Februari 2018

DDI dan kebijakan kependudukan

DDI dan Kebijakan Kependudukan
Oleh
Nur khaliq
Ketua Umum Pimpinan Pusat IMDI

                “Duniia semakin padat dan sesak”. Kalimat ini sering muncul untuk menggambarkan pertumbuhan penduduk dunia yang begitu cepat dan nyaris tidak terkontrol.
                Jumlah populasi dunia biasa dibilang meledak pasca perang dunia berakhir dan datangnya masa perdamaian abadi. Kecendrungan ini sebetulnya natural dan alaimyah saja, jika menilik kecendrungan hewan semisal kelinci yang berangak banyak dimasa-masa damai, dan tidak ingin beranak dimasa stress karna perburuan atau factor lain.
                Menurut catatan archeology, manusia mendiami bumi diperkirakn 5 juta tahun lalu dengan petumbuhan populasi yang sangat lambat. Tercatat, dua ribu tahun lalu, penduduk bumi hanya sekitar 250 juta. Selanjutnya, di butuhkan 1600 tahun kemudian barulah populasi manusia biasa mencapai dua kali lipatnya yaitu 500 juta. Sejak itu, pertumbuhan populasi dunia mulai mengalami percepatan dan semakin cepat. Hingga akhirnya, pada tahun 1979 jumlah populasi dunia mencapai 4 milyar, dan sekarang, penduduk dunia telah mencapai 8 milyar dan akan mencapai 9 milyar decade mendatang.
                Organisasi kesehatan dunia (WHO) mencatat pertumbuhan penduduk bumi rata-rata 1,7% di tahun 1990 dan terus meningkat hingga rata-rata 2% di decade setelahnya. Dengan kata lain, ada sekitar 3 bayi yang lahir setiap detiknya, atau sekitar ¼ juta bayi yang lahir setiap harinya, atau sekitrar -2 jutaan per-minggunya.
                Saat ini, penduduk terbanyak dunia di pimpin oleh China dengan sekitar 1,4 milyar dan disusul oleh India dengan 1,3 milyar. Posisi ke tiga di tempati oleh USA dengan 250 juta, serta Indonesia di posisi ke empat dengan sekitar 240 juta penduduk.
                Dimasa depan, jumlah penduduk negara-negara diatas akan terus berlipat ganda. Indonseia sendiri diperkirakan akan berpenduduk 321 juta di tahun 2050, dan diperkirakan 100 tahun mendatang akan mencapai 9 milyar sedang USA akan mencapai 10 milyar dan China mencapai 70 milyar. Para ahli bahkan memperkirakan, 500 tahun mendatang, setiap satu orang hanya akan memiliki seluas pekarangan rumah -tanah kering- untuk ditinggali.
                Selain itu, para ahli juga memperkirakan bahwa tahun 2050 mendatang, jumlah populasi non produktif atau orang-orang tua dengan rentang usia 60 tahunan akan mencapai 22 % dari jumlah keseluruhan populasi dunia, atau sekitar 650 juta orang. Pencapain populasi lansia ini adalah momentum pertama kalinya dalam sejarah peradaban manusia dimana jumlah lansia (usia 60 tahunan) akan sama dengan jumlah non produktif anak- anak (usia 0-14 tahunan).
                Pertumbuhan populasi dunia yang tidak terkontrol membawa dampak yang buruk baik bagi alam maupun manusia itu sendiri. Bebrapa ahli yang malakukan penelitian terhadap over populasi tikus di laboratorium menemukan kecendrungan prilaku anti social tikus pada tingkat kepadatan tertentu. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa, berbagai tindak kekerasa seperti perkelahian, pembunuhan, pemerkosasn, penelantaran anak, aborsi, perampokan, penyalah gunaan obat-obatan, kelaparan, penykit menular, wabah, hingga kanibalisme, berkorelasi kuat dengan over populasi. Meski perdebatan seputar hasil penelitian ini masih tetap berlangsung hingga saat ini, -banyak ahli yang masih tetap optimistic perbedaan tikus laboratorium dengan manusia adalah pada kemampuanya kita untuk bekerjasama dan bersama-sama membangun dan melastarikan lingkungan yang mampu menyokong kelangsungan hidup spesies manusia-. Disisi yang berlawanan, banyak pula intelektual yang pessimistic dan memprediksi akhir cerita manusia adalah “kelaparan, musnah karna penyakit menular, ataukah karna perang nuklir”. Dalam Al-Qur’an, pessimistic ini diingatkan pada surah Ar-Rum: 41. Artinya: “telah nampak kerusakan  didarat dan dilaut karna perbuatan tangan manusia”
                Oleh karna kondisi mendesak tersebut, maka oraganisasi perserikatan bangsa-bangsa/United Nation (UN) semakin gencar menghimbau dan merangkul seluruh negara, untuk bahu membahu bersama merumuskan agenda-agenda Sustainable Development untuk memastikan kelangsungan hidup bersama dan pembangunan yang ramah lingkungan.
                Agenda-agenda global berupa peningkatan bidang pendidikan dan kesehatan, lingkungan lestari, flora dan fauna terlindungi, air yang bersih, sanitasi, keadilan, memerangi kelaparan global, dll  gencar dilakukan. Meski tidak menafikan kecurigaan banyak orang tentang kepentingan terselubung kapitalisme dan internasionalisme melanggengkan neoimprealisme dan hegemony penghisapan.
                Lebih lanjut dari itu, pembacaan yang tepat pada kebijakan kependudukn dan demografi nampaknya juga pernah menguntungkan DDI dalam usaha pengembangan organisasinya. Tercatat, peningkatan jumlah santri di pesantren-pesantren DDI berbarengan dengan masa-masa “Baby Boom” (peningkatan pesat kelahiran anak-anak) sekitaran tahun 1980an-90an. Namun setelah masa itu, kemampuan DDI dalam membaca arah zaman juga semakin menurun. hasilnya, era kebesaran DDI ini nampaknya hanya berlangsung pada fase founding futher/fase perintis. Era selanjutnya yaitu fase konsolidasi (pasca sepeninggalan para pendiri), orgnissi ini ternyata disibukkan dengan berbagai penyesuaian kondisi. Setelah fase konsolidasi usai, tibalah kita pada fase rekonsiliasi atau era “kebersamaan”, yang biarlah -waktu pula yang akan menguji keabsahannya-.
                Akhirnya, satu hal yang tetap pasti dan tak terbantahkan, bahwa “masadepan DDI ada pada kaderisasi dan regenerasi”. Semakin besar perhatian pada pasal ini, berarti semakin berseri pula wajah organisasi di masa depan. Sebaliknya, semakin sedikit perhatian kita pada pasal ini, maka semakin miris pula kita menatap masadepan.
Minallahil mustaan wa ilayhi tiqlan.