Risalah
Pengabdi
Karna
IMDI-Jalan Hidup
A.
Pendahuluan
Mars IMDI
adalah lagu yang di gubah oleh Mursyid Dahlan Harun BA. Liriknya kuat dan penuh
semangat. Syair ini mengguratkan semangat mengabdi, semangat menjadi IMDI dan
semangat berjihad membangun bangsa dan agama. Meski hanya tiga bait yang di
ulang-ulang, namun Mars ini mampu memberi energy positif bagi mujahidin IMDI
menghadapi kesulitan-kesulitan perjuangannya. Tiga bait lirik mars ini menitik
beratkan pada pemaknaan identitas IMDI, medan juang dan metode perjuangan.
Berikut kutipan
lengkap mars IMDI tersebut:
IKATAN
MAHASISWA DDI
SINGSINGKAN
LENGAN BAJUMU
MARI KITA
BERJIHAD FII SABILILLAH
DENGAN PENCARAN
SINAR ILAHI
MATAHARI BULAN DAN BINTANG
MENERANGI MEDAN JIHADMU
TUMPAS PENINDASAN LAHIR DAN BATIN
PRANGI KEBODOHAN KEMISKINAN
BELAJAR KERAS
KERJA KERAS
MEMBANGUN
BANGSA DAN AGAMA
INGAT KWAJIBAN
TUGAS SUCIMU
MAJULAH TERUS
IMDI
Kembali ke awal
B.
IKATAN MAHASISWA DDI
Dalam study
psykologi, maupun kajian sastra post-kolonialis disebutkan bahwa, individu yang
mengungkap identitasnya di awal pertemuan adalah orang yang penuh kepercayaan diri, energik dan
bersemangat. Demikianlah Mars IMDI ini di mulai dengan mengungkap
keperibadiannya di awal, sebagai IKATAN MAHASISWA DDI.
Lalu, siapakah
sebetulnya Ikatan Mahasiswa DDI ini?.
Tafsir ideology
dan makna lambang IMDI menjelaskan bahwa; kata IKATAN sama dengan kata “Aqidah”.
Ini berarti, ketika seorang telah berikatan, maka hendaklah menanamkan i’tiqad (keyakinan)
itu kedalam hati sanubarinya, mengikrarkan
dengan baia’t (sumpah), dan istiqomah
dalam memegang teguh Ikatan tersebut dalam kondisi dan situasi apapun,
serta tidak lagi bercerai berai darinya.
Selain itu, “Aqidah” Ikatan, juga bermakna pembebasan. Yaitu ikrar mengikatkan
diri pada dzat yang maha segalanya, secara otomatis berarti melepaskan diri
dari penyembahan kepada segala sesuatau yang terbatas. Kemurnian tauhid yang
hanif inilah
yang senantiasa menjadi dasar dari amal jariah seluruh Mursyid Pengabdi.
Selanjutnya,
kata MAHASISWA berarti kaum intelektual. Intelektual bermakna aktif dan turut serta
dalam proses perbaikan zaman. Oleh karna itu manusia yang cerdas, namun “tangannya”
tidak turut andil dalam upaya memperbaiki taraf hidup dan derajat kemanusiaan
tidaklah pantas disebut kaum intelektual. Lebih lanjut, kata mahasiswa ini
kemudian diikuti oleh identitas DDI. Ini berarti, persinggunagn dan interaksi
kaum intelektual dengan DDI bermaknakan pengabdian yang hanya semata-mata
kepada Allah itu tadi, harus diwujudkan
dalam usaha bersama dalam wadah sebuah organisasi untuk mencapai visi dan misi
serta tujuan bersama dari dibentuknya DDI. Beikut visi dan misi DDI dalam anggaran dasar, BAB II, pasal 6: “Organisasi
ini didirikan dengan tujuan terbinanya individu muslim, beriman dan bertaqwa,
berakhlaqul karimah yang mengabdi dan mengamalkan usahanya fisabilillah,
menegakkan dan menjunjung tinggi agama Islam, demi terwujudnya masyarakat adil
makmur yang diridhoi oleh Allah SWT.“
Setelah identitas pengabdian jelas, maka bergegaslah,
SINGKAN LENGAN BAJUMU, yang berarti usaha mewujudkan pengabdian ini haruslah
dilakukan dengan serius, yaitu dengan menyingsingkan segala penghalang dan
rintangan, baik rintangan dari dalam diri yang berupa kemalasan, ketidak
perdulian, lemah iman, lemah semangat, sikap pengecut, ketakutan, dll, maupun
halangan dari eksternal yang berupa: pengaruh
buruk lingkungan, kurangnya fasilitas, buruknya system social, rusaknya sistem
kenegaraan, ataupun rusaknya moral, dll. Simbolisme menyingsingkan lengan baju secara
umum merupakan penanda dari ketegaran, kekuatan serta pengerahan secara
sungguh-sungguh segala upaya dalam usaha mencapai tujuan.
Dalam usaha yang
sungguh-sunggu itu, setiapa Mursyid, hendaknya hidup sebagai sebuah pohon yang
utuh, yang daunnya menjualng tinggi menggapai langint, mengajukan
pengharapan,
sebagaimana seruan Istainuu (mustaan)
dalam salam penutup IMDI. Menjadi
pengharapan dan pencerahan, seperti terbitnya mentari pagi dengan warna kuning
emas yang membawa harapan bagi mereka yang telah lelah dari kepalsuan hari
kemarin, atau mentari pagi yang mengusir gelap gulita, dan menggantinya dengan
cahaya yang terang benderang, serta membangunkan para manusia dari tidur
lelapnya. Sebuah kerja tanpa kenal lelah, karna keyakinan yang kuat bahwa
harapan perbaikan itu selalu ada, seperti mentari pagi yang pasti akan terbit
lagi esok hari. Ikhtiar kuat ini dilandasi oleh keyakinan bahwa tidaklah
berubah nasib sebuah kaum selain dari hasil kerja kedua “tangannya” sendiri (feree
willing).
Selanjutnya, seorang
pengabdi, harus hidup sebagai sebatan pohon yang utuh, yang akarnya menghujam
dalam ke jantung iman bumi, menghaturkan ketawakkalan dan kepasrahan total
sebagaimana seruan At-Tiqlan, pada
salam salam penutup IMDI,
yang yakin sepenuh hati, bahwa tidaklah jatuh selembar daun dari rantingnya,
kecuali telah tertulis di lauhin mahfuz,
dan telah menjadi ketentuan dari Tuhannya.
Sebuah totalitas penyerahan diri pada kekuatan yang maha kuasa dan maha kuat,
yang tiada kehendak dan tiada kekuatan selain dari kekuatan dan kehendaknya.
Salam penutup
IMDI ini, mengisyaratkan keseimbangan. Demikianlah sikap Mursyid sejati. tidak
mendewakan nalar dan penggunaan rasio, karna keinsafannya atas keterbatasan.
Tidak pula mengutamakan kekuatan otot maupun materi, yang biasanya menjadi akar
penindasan dan penghisapan, dan yang demikian tidak selalu mampu menjadi solusi
persoalan. Sebaliknya, tidak pula berpasrah dan berpangku tangan, karna yang
demikian itu bukan tujuan penciptaan. Namun, seorang mursyid ialah yang mampu
hidup seimbang. Mengimbangkan kerja, amal dan ibadah “tangannya” yang tak
mengenal lelah untuk menggapai langit, dan bersamaan dengan itu, kepasrahan dan
ketundukanya menggali jantung ketawakkalan pada Ilahi.
Bersegera dan
berusaha sunguh-sungguh itu diikuti oleh panggilan MARI KITA BERJIHAD
FISABILILLAH yang diyakini sepenuh jiwa bahwa jalan jihad dan medan jihat itu
telah ditunjuki dan di ridhoi oleh PANCARAN SINAR ILAHI. Oleh
karna itu, seorang mursyid hendaknya tidak bersikap pasif dan mengamalkan paham
jabariah atau murjiah dalam kehidupan sehari harinya, namun sebaliknya,
mustilah ia bangkit dan aktif dalam menyeimbangkan ikhtiar dan ketawakkalan,
dalam bingkai Trilogi DDI, dengan
ilmu, Amal Dan Akhlakqul Karimah.
Usahanya bukan hanya dengan niat atau doa, karna yang demikian itu adalah
selemah-lemahnya Iman.
Bukan hanya dengan lidahnya yang hanya menyampaikan, namun ia sendiri tidak
mengamalkannya, karna amat besar kemurkaan Tuhan bagi mereka yang menyampaikan
namun tidak mengamalkannya.
Tapi, usaha itu haruslah dengan perbuatan (biyadih) “tangannya”, dengan
menjadi teladan ditengh-tengah komunitas. Dengan menjadi ispirasi bagi manusia
lain, atau dengan menjadi pemimpin masyarakatnya. Karna perubahan menuju
kemajuan haruslah di usahakan dengan jihad (usaha sungguh-sungguh) dengan
tindakan dan perbuatan, karna tanpa itu, mustahil menemukan bangsa, agama dan
kemanusiaan yang maju.
C.
MATAHARI BULAN DAN BINTANG
Ada keyakinan
kuat di lakangan masyarakat DDI, dan telah menjadi hikayat lama yang masih
terus di rawat hingga saat ini, yaitu bahwa keberkahan atau “barakka’”dari
doa para wali akan terus bengalir dan diturunkan kepada seluruh Mursyid pengabdi.
Kesinambungan berkah dari doa para wali inilah yang di simbolisasi dengan siklus
teratur dari perganitia MATAHARI BULAN DAN BINTANG,
yang menghasilkan siang dan malam.
Bagi Mursyid IMDI, Nur ilahi yang berupa isymat (tuntunan secara langsung),,
burhan,
ilham atau
ilmu ladunni,
akan dianugrahkan tuhan bagi setiap mursyid yang bersungguh sungguh. Keberkahan
Nur Ilahi ini yang akan senantiasa MENERANGI MEDAN JIHADMU.
Artinya, bagi para Pengabdi, kesadaran akan beratnya medan jihad, besarnya
pengorbanan yang akan diberikan, serta berbagai kesulitan lainnya tidak akan menjadi
beban, karna keyakinan yang kuat bahwa Allah akan membuka banyak jalan
bagi mereka yang ikhlas menolong agamaNya.
Ketika jalan
mursyid telah engkau pilih, maka yakinlah bahwa jalan pengabdian ini bukan lah
jalan yang mulus. Jalan ini juga bukan-lah jalan yang akan membawa banyak
keuntungan materi dan kenikamatan duniawi, serta ketinggian pangkat dan jabatan
ataupun posisi. Semua itu mungkin akan kita dapatkan dengan ber-IMDI. Idealnya
demikian, Namun semua itu bukanlah
tujuan utama. Yang pasti, jalan ini adalah jalan terjal yang penuh pengorbanan,
perjuangan dan konsistensi. Seperti ungkapan Anregurutta “Milik saya adalah
milik DDI dan Milik DDI-Bukanlah Milik saya”. Tidak
banyak yang akan mampu bertahan, karna puncak piramida pengabdian memang
sejatinya hanya akan diisi oleh beberapa orang pilihan. “Orang-orang yang
mampu istiqamah dan iklas dalam perjuangan”.
Jalan mursyid
jelas bukan jalan pintas menuju kenikmatan. Namun dibalik itu semua, ada ridha
dan keberkahan Tuhanmu yang maha tinggi bagi mereka yang mau berkorban. Adakah
yang lebih nikmat dan lebih tinggi dari kerinduan Tuhan pada hambanya yang
konsisten pada jalan pengabdi.
Dan bukankah Tuhanmu yang memberi rezki, yang menjamin makan dan minum dari
seluruh hewan melata (dabbah) dipermukaan bumi. Yang
mereka, ada yang berjalan dengan perutnya, dengan dua kakinya atau dengan empat
kakinya.
Bukankah ia yang maha kaya lagi maha mulya.
Ia yang mengankat derajat hambanya, Ia pula yang mememberi kekayaan harta bagi hamba
yang di kehendaki. Maka jika engkau telah memilih jalan ini, disamping pilihan
jalan lain yang lebih menguntungkan bagimu, maka ikhlaskanlah dirimu, dan
berjuanglah untuk mati dalam konsistensi di jalan hijau-kuning. Matilah di
jalan pengabdian. Jalan yang engkau pilih untuk menemukan kehidupan.
Kehidupan dunia yang dipenuhi oleh irsyad dan keberkahan, dan kehidupan akhirat
yang dipenuhi ridha dan rahmat dari Tuhan.
Maka dengan
janji Allah itu, kader-kader IMDI haruslah tidak tenang melihat
keterbelakangan, ketikdak majuan dan kejumudan. Ia harus segera bangkit, dengan
cara dan metode apapun selama dalam bingkai Irsyad dan Ridha Allah, untuk “TUMPAS
PENIDASAN LAHIR DAN BATIHIN”.
Penindasan
lahir mungkin relatif mudah di kenali, karna mengambil bentuknya yang dapat di
lihat atau dirasakan. Dalam sejarah peradaban manusia, penindasan lahir biasa
menggambil wujud dalam simbolitas seperti rantai, pemasungan, penjara,
penghalangan, penjajahan, penghisapan, imprealisme, kolonialisme, dll, baik
yang dilakukann oleh individu, kelompok, maupun korporasi. Namun tidak demikian dengan penindasan batin. Ia adalah
jenis yang agak relative sulit untuk dikenali, karna bentuknya yang abstrak,
subjektif, menjangkit keperibadian dan masyarakat secara umum, serta
membutuhkan analisil lebih besar atau metode Dekonstruksi untuk memahaminya.
Penindasan batin ini biasanya berwujud, hegemony, system pembodohan, struktur
social yang mengekang, supreoritas yang tak nampak, impisible hand, otoritas,
dll, atau yang merupakan penyakit pribadi individu, berupa kemalasan, menunda-nunda,
ketakutan, pengecut, penghianat, menganggap sesuatu serba ringan,
dll.
Baik penindasan
lahir maupun penindasan bathin, adalah musuh abadi Mursyid Pengabdi. Setiap
mursyid hendaknya memerdekakan dirinya dari penindasan dirinya atas dirinya
sendiri, dengan jalan menumbuhkan sikap dan mental positif seperti
kedisiplinan, kerajinan, tangguh, jujur, adil sejak dari pikiran, pantang
menyerah, pantang berputusasa, dll. Setelah itu, lalu mengusahakan pembebasan
dan kemerdekaan bagi komunitas masyarakatnya yang lebih luas.
Penindasan lahir
maupun batin dihembuskan melalui bisikan
kejahatan dari golongan jin atau manusia. Menghasilkan kemelaratan, kebodohan
kemalangan, dst. Penyakit social ini yang diproklamirkan untuk terus di lawan
oleh setiap Mursyid dengan seruan“PEMERANGI KEBODOHAN KEMISKINAN.” Karna itu, tidak ada alasan bagi kaum
intelektual DDI untuk tinggal diam, sementara kemelaratan, kemalasan, sikap
korup, dll, terus menguat dalam diri pribadi maupun masyarakat, dan rasanya
telah menjadi tradisi abadi di yang tidak mungkin hilang.
D.
BELAJAR KERAS KERJA KERAS
Kata Mursyid
dalam pengartian IMDI bukan hanya berarti guru spiritual yang berfungsi sebagai
pembimbing murid mencapai Wushul atau derajat tertinggi yang menjadi tujuan
utama dalam ber-thariqah. Namun, seorang mursyid IMDI berarti insan yang utuh, insan
yang mendapat irsyad Allah, insan sempurna (insan kamil) atau insan Ulul Albab yang
senantiasan giat mengamalkan wasiat gurutta, yaitu: “Belajarlah Dan
Mengajarlah,- Belajarlah Dan Mengajarlah, Belajarlah Dan Mengajarlah Hingga
Allah Ta’alaa Sendiri Yang Mengajarmu”. Siklus
dialektis yang tiada henti dari proses panjang pencarian ilmu dari ayunan
hingga liang lahat
ini diserukan dengan tegas dengan ungkapan “BELAJAR KERAS KERJA KERAS”.
Seorang Mursyid
bukanlah pelanggeng kebekuan zaman, atau status quo dari kekuasaan atau
kedzaliman. Kewajibannya adalah belajar
keras dan mengajar keras, bekerja keras
untuk menggerakkan zaman, seperti yang telah dicotohkan oleh para founding father
DDI, yang menjadi pelopor pembawa obor penerang jalan, ditengah kegelapan zaman
dimasanya.
“Pelajar hari
ini, pemimpin hari esok”, “Pengabdi hari ini, pandita hari esok”. Mursyid
adalah anak-anak zaman yang bertugas menterjemahkan zamanya. Oleh
karna itu, hal utama yang wajib ia lakukan adalah memperkaya diri dengan
pengetahuan dan meluaskan wawasan, mempercantik diri dengan sikap dan
mentalitas. Karna Panrita/Mursyid, bukanlah gelar akademik, bukan label
kemasyhuran, atau gelar keturunan yang terwariskan. Namun Panrita/Mursyid adalah
karakter, adalah mentalitas, adalah sikap yang diperoleh dari belajar sepanjang
hayat, serta latih yang panjang dan anugrah dari rahmat Tuhan.
Kemajuan zaman
selanjutnya harus dikawal. Kewajiban Mursyid adalah memestikan bahwa setiap
kemajuan hendaknya selalu senafas dengan ruh kemulyaan Islam AhluSunnah Wal
Jamaah,
yang Rahmatatan Lil Alamin,
yang Hanifan Musliman serta tidak lagi mengikuti atau mewarisi tradisi, sikap atau sifat dari kaum musrikin.
Tidak lagi bersama mereka yang jumud dan melanggengkan kebiasaan terbelakang. Mereka
yang beku dan tidak mau menerima perubahan. Karna kemajuan dinilai bukan dari
seberapa benar ia, namun dari serapa besar ia membawa kemanfaatan pada
peningkatan harkat dan martabat kemanusiaan.
Karna
pengertian Mursyid adalah manusia seutuhnya, manusia yang diciptakan Tuhan dalam
bentuk yang sempurna dan tercerahkan, maka adalah tanggung jawabnya secara
peribadi-pribadi untuk menumbuhkan dalam dirinya masing-masing nilai-nilai kemanusiaan
yang mulya, kasih dan sayang terhadap makhluk lain, cinta, keberanian, dan
berbagai skill individu yang unggul,
agar mampu menjadi suri teladan ditengah komunitasnya.
Selain itu,
setiap mursyid IMDI haruslah menginsafi ilmu pengetahuan sebagai Nur Ilahi,
yang memancar dari Sinar Ilahi ke dalam sanubari insan yang bersih.
Maka degan dasar pemahaman ini, setiap mursyid harus mengusahakan untuk
mengusai ilmu secara holistik. Tidak hanya mampu dan ahli dalam bidang
pemahaman agama semata atau dakwah semata, namun mampu mengembangkan kemampuannya
untuk memahami saints teknologi serta kemajuan informasi sebagai tuntutan zaman
modernisme. Karna pada prinsipnya, agama tanpa sains adalah buta, dan sains
tanpa agama adalah lumpuh. Hendaknya mursyid menghayati pemahaman agama, karna
dengan agama hidup menjadi terarah, meresapi seni, karna dengan seni hidup menjadi
indah, dan menguasai sains karna dengan sains hindup menjadi mudah.
Selanjutnya, seruan
untuk KERJA KERAS mengisyaratkan bahwa kader pengabdi harus memiliki
kemandirian, professional, creative, innovative, harus kaya, sejahtra atau paling
tidak berkecukupan. Bukannya menjadi beban bagi keluarga, atau masyarakat atau
beban tanggungan negara karna pengangguran, kemalasannya atau kemelaratannya. Dalam
hal ini, Anregurutta Ambodalle mencontohkan praktekkan hidup dalam keutamaan
dan kemewahan. Perabot rumah dan fasilitas kerjanya adalah prangkat yang baik
dan paling mewah atau terkadang yang paling mahal. Demikian pula yang di
praktekkan oleh intelektual lain seperti Quraysihab. Namun, satu hal yang perlu
dicatat dalam pasal ini, bahwa gurutta memposisikan kekayaan sebagai alat
pengabdian, bukan sebagai tujuan. Karna beliau sendiri secara pribadi
mengamalkan sikap wara, sikap zuhud dan menghindari cinta dunia yang
berlebihan. Dalam riwayat disebutkan, bahwa gurutta apabila makan, beliau makan
hanya beberapa sendok saja. “Apabila Telah Merasa Nikmat, Maka Beliau Segera
Berhenti”.
KERJA KERAS
hakikatnya merupakan tujuan kehalifaan manusia dimuka bumi, kerja
ini adalah bentuk penghambaab manusia kepada Tuhannya. Oleh karna itu, mursyid
tidak boleh mendefenisikan amal-ibadah dengan pengertiaan sempit sebatas
shalat, puasa, zakat, haji, membaca kitab suci, karna bilakah pandangan sempit itu
yang digunakan, ia akan mudah terjabak pada dikotomi bida’h dan bukan bida’h. Amal-Ibadah
haruslah dimaknai seluas-luasnya, pada apapun yang menjadi kerja jariah manusia
untuk memakmurkan bumi. Karna itulah pengakuan dari khalifaannya, sebagai wakil
Tuhan dalam mengelola dan memakmurkan bumi. Dengan demikian, kerja keras
dalam bentuk apapun itu, akan selalu
dikerjakan dengan sungguh-sungguh, karna keyakinan bahwa usaha itu akan selalu
bernilai ibadah disisi Allah SWT.
Bukankah Nabi telah mengajarkan kita untuk senantiasa memulai segala perbuatan
dengan mengucap Basmalah,
agar nantinya senantiasan mendapatkan keberkahan dariNya.
KERJA KERAS
juga menjadi seruan agama. Karna tangan diatas selalu lebih baik dari tangan
dibawah.
Demikianlah seruan beinfak, bersedekah, berderma atau mengeluarkan zakat lebih
utama bagi yang melaksanakannya, dibanding orang-orang yang berposisi sebagi
penerimanya.
KERJA KERAS dalam kondisi tertentu juga akan berfungsi sebagai pembebasan dan memerdekakan
bagi kaum lemah dan tertindas, dengan prinsip (ta’awun) saling tolong menolong
dalam kebaikan dan taqwa, dalam
mewujutkan kerjasama social antar sesam umat beragama, atau sesama manusia
secara umum, dalam upaya bersama-sama mencapai masyarakat yang sejahtra lahir
dan batin.
Selain itu, hasil
KERJA KERAS akan berfungsi sebagai Sulthan (kekuatan),
yang akan menopang misi Mursyid mewujudkan khairo ummah dengan menegakkan amar
makruf- nahyi munkar. Dengan
demikian, Mursyid IMDI tidak boleh menarik diri dari pergaulan social, tidak
boleh melihat hina pada dunia, sebagaimana yang di peraktekkan oleh sebagian Mursyid
sufi pada zaman klasik Islam (tasauf klasik), yang asyik mengejar Huluu Ilaa
Allah, menjerumuskan diri pada passivism, dan menganggap rendah pada dunia sebagai
penghalang yang harus ditinggalkan. Mursyid IMDI idealnya menyeimbangkan praktek
pemahaman ini, sebagaimana yang telah di contohkan oleh Antegututta diatas.
Dengan demikian,
menjadi jelas bahwa jihad Mursyid IMDI, akan senantiasa dikerahkan sebagai jariah untuk MEMBANGUN
BANGSA DAN AGAMA. Selanjutnya, dalam upaya MEMBANGUN BANGSA, mursyid IMDI tentu
akan menempuh banyak jalan yang berbeda-beda, tergantung dari minat, bakat,
keahlian, kapasitas dan sumber daya pendukung dari upaya Mursyid dalam usaha
berpartisipasi membangun bangsa tersebut. Namun demikian, Bagi IMDI, jalan pengabdian
membangun bangsa itu harus didasari oleh bebrapa prinsip diantaranya: Tirlogi DDI,
Islam Ahlu Susnnah Wal-Jamaah, NDP IMDI, dan pemahaman terhadap kultur-historis
masyarakat.
a.
Dalam
bidang politik:
Meski DDI-IMDI
bukanlah partai politik atau Under Bow PARPOL, namun partisipasi Mursyid
dalam mendukung terpilihnya pemimpin
ideal dan terbaik melalui saluran Demokrasi adalah jihad yang harus diusahakan
bersama, demi terwujudnya masyarakat Islam yang sebenarnya. Dalam pasal ini, Mursyid
IMDI berprinsip “Dwitunggal Harga Mati” yaitu kepemimpinan Ulama Wal
Umaro. Bagi IMDI, yang harunsnya di perjuangakan adalah subtansinya, bukannya
terjebak pada pertarungan symbolisasi, atau memperjuangkan covernya, labelnya,
atau perjuangan atas nama.
IMDI menilai, Kehadiran
dua entitas penting dalam kesejarahan berbangsa dan bernegara Indonesia ini,
akan menghadirkan Chack And Balance yang nantinya melahirkan keseimbangan
antar-kekuatan dalam negara. Keseimbangan kekuatan antar institusi-institusi
dalam bernegara inilah yang akan menghadirkan Demokrasi yang sehat. Pada posisi
arah pembangunan khairo ummah -Civil Socaity DDI- inilah
pengabdian IMDI harus diarahkan.
Bagi IMDI,
format kenegaraan Indonesia hari ini telah sangat ideal, dan merupakan bentuk
final. Namun demikian, setiap Mursyid harus tetap menginsafi bahwa konsep negara
dan struktur social bukanlah firman Tuhan yang mustahil berubah. Sejarah negara
selamanya adalah produk kemanusiaan. Oleh karna itu, sebagai sebuah produk
kesejarahan, struktur ini selalu memiliki dimensi kedinamisan. -Bahkan firman Tuhan
yang absolute kebenarannya-pun, ketika bersentuhan dengan dimensi kemanusiaan,
maka akan tetap terbuka ruang dimensi tafsir dan pamaknaan-. Maka karna itu,
tugas setiap Mursyid adalah menjaga dimensi kedinamisan konsepsi negara
Indonesia yang ideal tersebut. Menjaganya baik dari penguasa atau golongan
mayoritas yang ingin memaksakan ideology dan tafsir tunggal, yang menimbulkan
penindasan dan diskriminasi dan ketidak adilan terhadap masyarakat atau kaum
minoritas, atau menjaganya dari rongrongan individu serta kelompok yang ingin
mengganti system kenegaraan Indonesia dengan Ideology atau Teologi lain yang
pastinya akan memicu perpecahan dan perang saudara yang tiada akhir.
Setiap Mursyid
juga harus tetap insaf akan hakikat kekuasaan. Bahwa “Kekuasaan Lebih, akan Cendrung
Korup.” Maka dalam menjaga kekuasaan tetap dalam rel dan koridornya yang
benar, IMDI harus hadir dalam setiap momentum, dalam bentuk partisipasi “Kritis-Korektif,
Patriotik-Inovatif” untuk memastikan bahwa tidak ada lembaga, institusi
atau golongan yang memegang kekuasaan secara berlebihan. -Bahkan oleh rakyat
itu sendiri-. Sebagai pemegang kekuasaan tertinggi dalam sistem Demokrasi.
Bagi IMDI, system Demokrasi yang di anut oleh
Indonesia hari ini adalah sisitem pemerintahan yang ideal. Karna system ini
mampu menjamin persamaan HAK dan kewajiban setiap individu, serta meminimalisir
potensi diskriminasi, monopoli, otoriteriat, maupun penindasan. Selain itu,
IMDI juga meyakini, bahwa suara mayoritas pada dasarnya adalah suara Tuhan.
Olehnya itu, segala urusan kemasyarakatan dan/atau kenegaraan haruslah
dimusyawarahkan untuk menemukan kesepahaman dan kemufakatan dalam usaha mencapai
kemaslahatan bersama.
Setiap individu dalam system musyawarauh semacam ini, akan di minta pengorbanan
kecil, untuk mencapai keuntungan yang lebih besar, yaitu kedamaian dan
terpenuhinya hajat hidup semua anggota masyarakat.
b.
Dalam
bidang pendidikan:
Pendidkan
adalah alat kemajuan. Demikianlah Sejarah dan Arkeologi Dunia mencatat bahwa, “tidak
satu bangsa-pun di dunia ini yang berhasil mencapai kemajuan tanpa di barengi
dengan kemajuan bidang pendidikannya”. Oleh karna itu, dipandang perlu
untuk segera mereformasi bidang pendidikan DDI dengan penekanan pada beberapa
entri poin penting sebagai berikut: (i) mutlak mengusahakan peningkatan
kualitas pendidikan khususnya bagi STAI atau IAI DDI. Bukan hanya pada usaha
peningkatan status institusinya menjadi Institute atau Universitas dengan
membuka jurusan-jurusan eksakta dan penungkatan jumlah mahasiswa, tetapi juga
pada kualitas Output dan Input dari lembaga pendidikan ini. Hal ini penting,
mengingat posisi strategis perguruan tinggi sebagai “laboratorium ilmiah” yang
memperoduksi intelektual yang nantinya mengambil peran kepemimpinan dan
pengembangan DDI dan Bangsa dimasa yang akan datang.
Dalam hal ini,
pendidikan DDI sejatinya mewujud sebagai proses yang egaliter dan
emansipatoris. Dimana baik pendidik maupun murid, mampu menghadirkan subtansi
pendidikan itu sendiri. yaitu mempersiapkan generasi pelanjut estafet
kepemimpinan DDI dimasa yang akan datang, yang secara konferhensif memiliki
kapasitas kecerdasan intelektual, emosional maupun spiritual, yang mampu
menumbuhkan, memeliharadan mengembangkan keserasian, keselarasan dan
keseimbangan antara dimensi hubungan manusia kepada Allah, hubungan manusia
dengan sesam manusia, serta hubungan manusia dengan alam semesta.
Untuk itu, baik pendidik maupun murid, dituntut senantiasa mampu menghadirkan
suasana konsusif, nyaman, kasih sayang dan tetap ilmiyah, yang akan mendukung
tercapainya tujuan dari diselenggarakannya pendidikan.
(ii) Pengembangan
wawasan keagamaan/dakwah dalam lingkungan DDI juga seyogyanya harus di barengi
dengan wawasan kebangsaan. Agar nantinya lahir alumni-alumni Mahasiswa DDI yang
mampu menyelaraskan antara semangat menegakkan kalimat Tuhan serta jiwa
NEO-PATRIOTISME dan Nasionalisme dalam partisipasinya membangun bangsa. Dengan
demikian, mahasiswa DDI tidak akan mudah terjebak pada forma-forma
etnosentrisme dan Islamisme sempit dengan tujuan jangka pendek yang menyesatkan.
Selanjutnya, (iii)
mencoba menghidupkan kembali tradisi berbahasa Asing terutama bahasa Arab dan
Ingris sebagai bahasa pergaulan Internasional serta bahasa ilmu pengetahuan, bagi
seluruh Mahasiswa DDI juga dianggap penting. Skill tambahan ini, akan
memjadikan Mahasiswa DDI mampu mandiri dalam mengembangkan potensi
intelektualnya dengan mengakses literature Internasional. Dengan demikian, Intelektual
DDI akan selalu Up Date serta memiliki kompetensi yang selaras dengan
tuntutan zaman, dan mampu tampil sebagai
pioneer yang selalu mampu menghadirkan solusi bagi kegalauan ummat. Menjadi
intelektual yang dicintai, dinanti dan diminati. “Bukan intelektual kampungan
yang berfatwa/berdakwah dengan pembahasan yang sama saja, sejak dari zama batu
hingga zaman sekarang.”
(iiii) DDI juga
sudah seharusnya memplopori pengajaran dan pembelajaran “Pendidikan
Multicultural dan Cross-Cultural Study” disemua level pendidikannya, sebagai respon dari pemberlakuan kerjasama
antar negara ASEAN atau yang lebih popular dikenal dengan sebutan Masyarakat
Ekonomi Asean (MEA). MEA sejatinya merupakan peluang besar bagi DDI untuk
mencapai kemajuan. Dengan catatan, ia mampu merespon positif kebijakan
strategis regional ini dengan peningkatan skill dan kualitas sumberdaya manusianya
melalui pelatihan dan pendidikan. Namun bila tidak, justru kemalangan demi
kemalangan yang akan menerpa.
Kedepannya, tenaga kerja asing dan teknisi
ahli asing akan menyerbu basis-basis Addariyah. Bilakah masa itu datang,
kader-kader DDI akan gamang, galau, atau kalaupun tidak menjadi minder, untuk
bersaing dengan angkatan kerja asing yang lebih professional dan telah dibekali
dengan pemahaman kebudayaan global. Bilakah itu terjadi, maka sudah dapat di
pastikan bahwa DDI akan semakin tertinggal dan akan menjadi penonton dipinggir
lapangan.
c.
Kesetaraan
gender
Wacana gender
dalam khazanah intelektual IMDI belum banyak tereksplorasi dan sangat
tertinggal bila dibandingkan dengan organisasi kekaderan lainnya. Hal ini bias
dilihat dari minimnya perhatian lembaga ini pada isu-isu kesetaraan gender. Padahal,
jika melihat perkembangan yang terjadi, baik dalam pengembangan wacana maupun
implementasi wacana kesetaraan gender di dunia nyata, bisa di kata, diskursus
gender ini telah sangat maju.
Dalam berbagai
bidang social, perempuan telah menempati proporsi yang setara dengan laki-laki.
Berbagai posisi tinggai dan berbagai bidang profesi kini telah memperlakukan perempuan
sama dengan laki-laki, serta telah menghilangkan diskriminasi berbasis gender.
Lebih jauh dari
itu, dengan kemajuan teknologi dan perkembangan dunia yang semakin terbuka, di
beberapa negara maju, gerakan perempuan melalui wacana feminismenya bahkan
menguat pada wacana “melampaui” kesetaraan. Yaitu keinginan untuk mengganti
system social yang Patriarchi menjadi Matriarchi. Hal ini lebih di
latarbelakangi oleh keinginan kaum perempuan untuk “membalas dendam” atas
perlakuan subordinasi yang sejak dahulu dilakukan oleh laki-laki dalam
kebudayaan Pathriarchi. Atau keinginannya untunk mengusung wacana
“postpatriarchy”, meski wacana ini masih terus dianggap tidak matang dan
kontrofersial.
Feminism radikal
ini kemudian mengembangkan model wanita mandiri (Wonder Woman) yang dalam
prakteknya “tidak membutuhkan laki-laki.” Wanita mandiri yang dicirikan dengan
penampilan staylish, angkuh, mandiri ekonimi, efektif-efisient, serta modern. Kelompok
feminis ini berpendapat bahwa, “laki-laki dibutuhkan hanya untuk pemenuhan
kebutuhan seksual belaka, setelah itu, mereka (laki-laki) pantas untuk dicampakkan.”
Feminism radikal ini banyak dilakoni oleh artis papan atas, terutama
dinegara-negara maju. Mereka, tidak lagi menganggap ikatan pernikahan sebagai sebuah
ritual yang sacral, dan dengan mudah melepas atau menyambung (cerai dan menikah
lagi) sesuai dengan situasi dan kondisi dimana ia dibutuhkan.
Selanjutnya, Dalam
pengembangan ilmu pengetahuan, maraknya diskursus Dekonstruksi juga memicu
gelombang pembongkaran kuasa intelektual yang selama ini diklaim bias gender.
Intelektual yang konsern dalam menyuarakan isu kesetaraan, banyak melahirkan
gugatan-gugatan epistemic maupun aksiologik terhadap pencapaian ilmu pengetahuan.
Mereka menengarai, aktifitas intelektual yang selama ini lebih didominasi oleh
kaum laki-laki juga telah mengikut sertaka terbentuknya kristalisasi
subjektifitas kelaki-lakian dalam membangun ilmu pengetahuan. Gugatan itu
misalnya terjadi pada berbagai penggunaan istilah-istilah ilmu pengetahuan yang
dianggap bias gender. Salah satunya, pengantian istilah HISTORY (His = dia
laki-laki) dan (Story = cerita), jadi History = Cerita laki-laki, menjadi
HERSTORY (Her=dia perempuan) dan (Story=cerita) jadi Herstory= cerita
perempuan. Dan banyak lagi pengembangan wacana Dekonstruksi lainnya.
Selanjutnya, perebutan
uasa gender di diruang public juga tidak kalah progresif. Kini, hampir bias di kata,
tidak ada posisi kunci lagi yang tidak bias direbut dan diduduki oleh wanita, bahkan bagi berbagai bidang profesi yang dahulunya dianggap tabu
di isi oleh perempuan, karna berpretensi kelaki-lakian atau hanya cocok
ditempati oleh pria, seperti jabatan Direktur, Komisaris, Pengacara, Tentara,
Polisi, Politisi, Kontraktor, Montir, bahkan dibidang-bidang ekstrem lain
seperti lokasi pengeboran minyak, tambang batu bara, atau perbaikan tower
listrik dan telfon. Sebaliknya, Kondisi yang berlawanan justru ditemukan pada
berbagai profesi yang kini digeluti kaum laki-laki. Diberbagai tempat dibelahan
dunia, profesi-profesi yang dahulunya di anggap bersentimen perempuan seperti Perawat,
Juru Masak, Desainer, Tata Rias Artis, Pegawai Bank, Bendahara, Arisan, Pelayan
Restoran, Resepsionis, dll, justru telah banyak di handle dan digeluti oleh
laki-laki.
Berbagai
perubahan dalam struktur masyarakat hari ini menunjukkan tren yang relative positif.
Diberbagai bidang seperti Politik, Hukum, Pendidikan, Ekonomi, Hubungan
Internasional, dll, telah membuka persamaan dan kesetaraan bagi laki-laki dan
perempuan. Hanya dibeberapa bidang saja, seperti Agama dan Tradisi Desa yang
masih belum mampu melepas kendali superioritas laki-laki atas wanita. Hal ini
bukan berarti mustahil akan terjalinnya kerjasama yang berimbang antara
perempuan dan laki-laki dalam usaha mewujudkan fungsi Khalifaan mereka dimuka
Bumi, namun, hanya saja, ke dua wilayah ini membutuhkan waktu yang sedikit
lebih lama dan interaksi social yang lebih intensif, dikarnakan berbagai dogma
dan pemahaman yang dianggap sakral yang masih sangat kuat dianut oleh
masyarakat.
Wacana
kesetaraan gender dalam lingkup DDI sesungguhnya bukanlah wacana baru. Bahkan
sejak dahulu, Anregurutta Ambodalle telah menaruh perhatian lebih
terhadap pembinaan dan peningkatan kualitas sumberdaya perempuan. Hal ini bias
dinilai dari dibukanya pondok pesantrren Lil Banat yang berlokasi di
Kota Madya Parepare, yang khusus membina santri putri DDI.
Oleh karna itu,
Dengan menyadari dan menilai berbagai realitas social seperti yang telah di
urai diatas, maka sudah sepantasnya IMDI segera berbenah untuk menyiapkan
landasan kokoh bagi terbentuknya peradaban yang setara antar sesama manusia. Usaha
itu biasa dimulai dengan berbagai jalan, misalnya dengan menggalakkan berbagai
kegiatan yang menitikberatkan pada peningkatan kualitas sumberdaya wanita, atau
dengan secara formal membentuk lembaga IMDIP (Ikatan Mahasiswa DDI Putri), yang
wilayah garapannya khusus pada usaha peningkatan kualitas sumberdaya wanita DDI. Hal ini tentu terbilang penting,
karna kondisi DDI yang dalam dua dasawarsa terakhir yang minim menelorkan kader
perempuan yang unggul.
Partisipasi
mursyid dalam pembagnuna negara dan bangsa sejatinya juga merupakan
sumbangsihnya dalam “MEMBANGUN AGAMA”. Hal ini dikarnakan pemahaman
agama tidak bias lepas dari konsep negara atau berbagnsa. Pembangunan bangsa haruslah
didasari atas pemahaman agama. Ini bukan berarti formalisasi agama dalam
konstitusi berbangsa dan bernegara, sebagai mana yang diusung oleh
kelompok-kelompok radika agama atau kelompok-klompok radikal negara. Namun
lebih kepada memposisikan agama pada posisinya yang mulya sebagai inspirasi
dari lahirnya konstitusi atau consensus bernegara, berbangsa dan bermasyarakat
yang berketuhanan, berkeadilan dan berprikemanusiaan. Dengan kata lain,
consensus bersama yang menjadi peranata social atau tatanan social dalam
masyarakat, bersumber dari yang inpirasi
nilai-nilai mulya agama serta nilai-nilai luhur adat istiadat
yang terinternalisasi dan diamalkan oleh masing-masing individu dalam kelompok
social tersebut.
.Wacana
pemisahan antara agama dan negara atau yang lebih dikenal dengan istilah
sekularisme merupakan wacana yang mengada-ada. Hal ini dikarnakan, tidak
seorang manusiapun dimuka bumi yang mampu secara murni lepas dari keyakinan
akan adanya Tuhan, serta tak satu negarapun dimuka bumi yang secara mutlak
berhasil menghilangkan pengaruh keyakinan keagamaan dari konstitusinya. Agama
sejatinya merupakan pondasi dasar dari seluruh peradaban umat manusia. Oleh
karna itu, memisahkan agama dari negara merupakan gagasan yang mustahil. Maka dari itu, tepatlah usaha dan jalan jihad
mursyid IMDI yang mencita-citakan terbentuknya sebuah negara sejati yang
masyarakatnya mengamalkan nilai-nilai spiritual.
Dengan
demikian, wacana usaha formalisasi agama sebagai konstitusi berbangsa dan
bernegara dalam berbagai variannya seperti yang marak saatini, selain tidak
memiliki dasar baik dalam kesejarahan agama itu sendiri, terlebih dalam
kesejarahan manusia Indonesia ini, justru akan menjadika agama yang memiliki
nilai-nilai dinamis dan bersifat universal terpenjara pada dimensi profane dan
sektariat, serta akan berpotensi menjadikan agama sebagai alat penindasan dan
akar dari lahirnya berbagai perilaku ketidak adilan. Dengan kata lain, “Ketika
agama di institusikan, maka saat itulah ia mulai memakan korban-korbannya. Dan
korban pertama dan utamanya adalah penganut agama itu sendiri”.
Mars IMDI
kemudian ditutup dengan mengunci pemaknaan dari seluruh mars itu dengan kalimat
INGAT KWAJIBAN TUGAS SUCIMU dan harapan serta seruan agar MAJULAH TERUS IMDI.
Wallahu A’lam
Bissawwab.
Minallahil
Musta’an Wa Ilayhi Tiqlan
RUJUKAN: