Ideology kerja dalam kebudayaan kita
Oleh Nur Khaliq
Ketua umum Pimpinan Pusat IMDI
Jepang
adalah negara yang dikenal dunia sebagai negara produsen “monster”. Dengan
Jumlah penduduk sekitar 126,672,000 jiwa serta wilayah geografis yang relative
sempit, negara ini nyatanya mampu tampil sebagai raksasa inovasi dan
kreatifitas tiada akhir. Hal ini tentu tidak hanya di dukung oleh kebijakan
pemerintah dan arah pengembangan industrial, serta capital yang kuat, namun yang
lebih penting adalah teransformasi budaya, tradisi dan agama masyarakatnya yang
menjunjung tinggi kehormatan, hargadirinya, kedisiplinan, kesetiaan, kasihsayang,
solidaritas, dll.
Lalu, apa yang bias di petik dari
sana?.
Dari pengetahuannya kita terhadap
kemajuan Jepang, kita insaf bahwa nilai-nilai dasar dari budaya, teradisi dan
agama yang mereka miliki, sesungguhnya juga telah berakar lama dalam kebudayaan,
tradisi dan prilaku keagaman masyarakatnya kita.
Ambil contoh misalnya “haragiri”
sebagai implementasi hargadiri tinggi dalam masyarakat Jepang, juga ada dalam
masyarakat Bugis dengan istilah siri’. (Serupa namun tak sama), konsep
ini pada penekanannya membawa dampak pada kerelaan berkorban apa saja, bahkan
nyawa sekalipun demi menjunjung tinggi kehormatan, martabat dan hargadiri. Prinsip
siri’ (dalam term semangat ekonomi) termanifestasi dalam gengsi dan
nobility yang menjelma sebagai Spirit of Capitalism dan mendorong
masyarakat untuk memaksimalisasi proses produksi serta etos kerja yang tinggi
mendulang profit. Karna hanya dengan kerjalah siri’ dapat ditegakkan. Manusia
yang malas dan akhirnya bodoh dan miskin, (meski mereka bertitel bangsawan) tidak
akan punya kuasa untuk “mengangkat muka” dan menegakkan siri’nya ditengah
masyarakat. Sebaliknya, Prinsip siri’ juga menghindarkan masyarakat dari
prilaku-prilaku negative, destructive dan menyimpang yang mampu memunculkan
image dan stigma mappakasiri’-siri’.
Selanjutnya, kesetiaan pada
perusahaan yang termanifestasi dalam long term employment, dapat
ditemukan dalam istilah “reso temmangingi”.
Reso temmangingi berati kerja keras/usaha yang giat dan tidak
mengenal lelah atau menyerah. Dalam bahasa Bugis, ada petuah yang dijunjung
tinggi masyarakat, yaitu “Resopa temmanginngi malomo naletei pammase Dewata”
(Hanya dengan usaha/kerja keras tiada henti, menjadi titian rahmat Ilahi). Selain itu, tipologi masyarakat yang patron clan juga
terkenal amat setia pada clan/komunitas dimana mereka bernaung. Untuk penataan
clan, biasanya istilah yang popular adalah “aga uaner, iya to muanre“ (apa
yang saya makan, itulah yang akan kalian makan). Kesetiaan dan solidaritas pada
akhirnya akan melahirkan stabilitas dan pertumbuhan.
Kejujuran menjadi tulang punggung system
ekonomi. Dalam dunia ekomomi, bisnis dan korespondensi, kredit, pertukaran
barang dan jasa, serta berbagai sesi entrepreneur lainnya, tidak dapat berjalan
diatas kecurangan dan kelicikan. Oleh karna itu, manifestasi “getteng lempu”dalam
teradisi kita nampak tetap relevan dengan kemoderenan system ekonomi dunia. “Getteng” meliputi pengertian: tegas, teguh, tangguh, dan
setia pada keyakinan. Sementara “lempu” berarti kejujuran. Dalam konteks
kehidupan sehari-hari, kejujuran berarti perilaku yang benar, baik, ikhlas atau
adil yang berlawanan kata dengan curang, praktik KKN, dusta, khianat, korup dan
sebagainya.
Selain menjunjungtinggi harkat dan
martabat, kejujuran serta etos kerja yang tinggi, masyarakat Bugis juga menganut
filosofi massompe’ (merantau). Dalam teradisi massompe ini,
manusia Bugis biasanya tidak mengenal bekal materil atau berbekal modal apapun,
melainkan prinsip tallucappa’ (tiga ujung). Tiga ujung ini yaitu: “ujung
lidah, ujung badik/belati, dan ujung penis”. Implementasi tellucappa’ ini dapat
kita lihat dari kelihaian manusia Bugis dalam berkomunikasi (dakwah), bela diri
(silat) dan kesaktian (usaha sosial), maupun berbaur/beradaptasi (pernikahan/pendidikan).
Falasafah tellucappa’ juga merupakan manifestasi dari betapa manusia Bugis
menjunjung tinggi tiga kebebasan yaitu: kebebasan berpendapat, kebebasan
berusaha, dan kebebasan bermukim. Kalau satu, dua, atau bahkan ketiga kebebasan
itu dirongrong oleh rezim penguasa atau siapapun, mereka lebih memilih mati,
atau lebih baik hijrah, (massompe) ketimbang hidup di bawah penindasan dan
kemunafikan.
Masih begitu banyak teradisi lain
dari masyarakat Bugis yang “keren”. Namun, amat disayangkan bahwa generasi muda
lebih tertarik mencari dan mengadopsi nilai-nilai baru yang mereka anggap kontekstual,
revolusioner atau moderen, yang pada prinsipnya belum tentu cocok dengan
konteks lokalitas masyarakat. Dan lebih disayangkan lagi, bahwa mereka melupakan
nilai-nilai luhur dari kebudayaan yang sesungguhnya tidak kalah canggih dari
istilah-istilah global-hegemonic dalam masyarakat era millenium baru.
Mambumikan kembali, serta
menafsirkan ulang berbagai nilai-nilai luhur masyarakat merupakan tugas penting
dari generasi saat ini, sebagai investasi jangka panjang masyarakat menyongsong
era Indonesia emas yang lebih berdaya saing, sustainable, serta ekologis/ramah
lingkungan.
Minallahil mustaan wa ilayhi tiqlan.