Minggu, 28 Januari 2018

ideologi Usaha (sosial)

Ideology kerja dalam kebudayaan kita
Oleh Nur Khaliq
Ketua umum Pimpinan Pusat IMDI

            Jepang adalah negara yang dikenal dunia sebagai negara produsen “monster”. Dengan Jumlah penduduk sekitar 126,672,000 jiwa serta wilayah geografis yang relative sempit, negara ini nyatanya mampu tampil sebagai raksasa inovasi dan kreatifitas tiada akhir. Hal ini tentu tidak hanya di dukung oleh kebijakan pemerintah dan arah pengembangan industrial, serta capital yang kuat, namun yang lebih penting adalah teransformasi budaya, tradisi dan agama masyarakatnya yang menjunjung tinggi kehormatan, hargadirinya, kedisiplinan, kesetiaan, kasihsayang, solidaritas, dll.
            Lalu, apa yang bias di petik dari sana?.
            Dari pengetahuannya kita terhadap kemajuan Jepang, kita insaf bahwa nilai-nilai dasar dari budaya, teradisi dan agama yang mereka miliki, sesungguhnya juga telah berakar lama dalam kebudayaan, tradisi dan prilaku keagaman masyarakatnya kita.
            Ambil contoh misalnya “haragiri” sebagai implementasi hargadiri tinggi dalam masyarakat Jepang, juga ada dalam masyarakat Bugis dengan istilah siri’. (Serupa namun tak sama), konsep ini pada penekanannya membawa dampak pada kerelaan berkorban apa saja, bahkan nyawa sekalipun demi menjunjung tinggi kehormatan, martabat dan hargadiri. Prinsip siri’ (dalam term semangat ekonomi) termanifestasi dalam gengsi dan nobility yang menjelma sebagai Spirit of Capitalism dan mendorong masyarakat untuk memaksimalisasi proses produksi serta etos kerja yang tinggi mendulang profit. Karna hanya dengan kerjalah siri’ dapat ditegakkan. Manusia yang malas dan akhirnya bodoh dan miskin, (meski mereka bertitel bangsawan) tidak akan punya kuasa untuk “mengangkat muka” dan menegakkan siri’nya ditengah masyarakat. Sebaliknya, Prinsip siri’ juga menghindarkan masyarakat dari prilaku-prilaku negative, destructive dan menyimpang yang mampu memunculkan image dan stigma mappakasiri’-siri’.
            Selanjutnya, kesetiaan pada perusahaan yang termanifestasi dalam long term employment, dapat ditemukan dalam  istilah “reso temmangingi”. Reso temmangingi berati kerja keras/usaha yang giat dan tidak mengenal lelah atau menyerah. Dalam bahasa Bugis, ada petuah yang dijunjung tinggi masyarakat, yaitu “Resopa temmanginngi malomo naletei pammase Dewata” (Hanya dengan usaha/kerja keras tiada henti, menjadi titian rahmat Ilahi).  Selain itu,  tipologi masyarakat yang patron clan juga terkenal amat setia pada clan/komunitas dimana mereka bernaung. Untuk penataan clan, biasanya istilah yang popular adalah “aga uaner, iya to muanre“ (apa yang saya makan, itulah yang akan kalian makan). Kesetiaan dan solidaritas pada akhirnya akan melahirkan stabilitas dan pertumbuhan.  
            Kejujuran menjadi tulang punggung system ekonomi. Dalam dunia ekomomi, bisnis dan korespondensi, kredit, pertukaran barang dan jasa, serta berbagai sesi entrepreneur lainnya, tidak dapat berjalan diatas kecurangan dan kelicikan. Oleh karna itu, manifestasi “getteng lempu”dalam teradisi kita nampak tetap relevan dengan kemoderenan system ekonomi dunia. “Getteng” meliputi pengertian: tegas, teguh, tangguh, dan setia pada keyakinan. Sementara “lempu” berarti kejujuran. Dalam konteks kehidupan sehari-hari, kejujuran berarti perilaku yang benar, baik, ikhlas atau adil yang berlawanan kata dengan curang, praktik KKN, dusta, khianat, korup dan sebagainya.
            Selain menjunjungtinggi harkat dan martabat, kejujuran serta etos kerja yang tinggi, masyarakat Bugis juga menganut filosofi massompe’ (merantau). Dalam teradisi massompe ini, manusia Bugis biasanya tidak mengenal bekal materil atau berbekal modal apapun, melainkan prinsip tallucappa’ (tiga ujung). Tiga ujung ini yaitu: “ujung lidah, ujung badik/belati, dan ujung penis”. Implementasi tellucappa’ ini dapat kita lihat dari kelihaian manusia Bugis dalam berkomunikasi (dakwah), bela diri (silat) dan kesaktian (usaha sosial), maupun berbaur/beradaptasi (pernikahan/pendidikan). Falasafah tellucappa’ juga merupakan manifestasi dari betapa manusia Bugis menjunjung tinggi tiga kebebasan yaitu: kebebasan berpendapat, kebebasan berusaha, dan kebebasan bermukim. Kalau satu, dua, atau bahkan ketiga kebebasan itu dirongrong oleh rezim penguasa atau siapapun, mereka lebih memilih mati, atau lebih baik hijrah, (massompe) ketimbang hidup di bawah penindasan dan kemunafikan.
            Masih begitu banyak teradisi lain dari masyarakat Bugis yang “keren”. Namun, amat disayangkan bahwa generasi muda lebih tertarik mencari dan mengadopsi nilai-nilai baru yang mereka anggap kontekstual, revolusioner atau moderen, yang pada prinsipnya belum tentu cocok dengan konteks lokalitas masyarakat. Dan lebih disayangkan lagi, bahwa mereka melupakan nilai-nilai luhur dari kebudayaan yang sesungguhnya tidak kalah canggih dari istilah-istilah global-hegemonic dalam masyarakat era millenium baru.
            Mambumikan kembali, serta menafsirkan ulang berbagai nilai-nilai luhur masyarakat merupakan tugas penting dari generasi saat ini, sebagai investasi jangka panjang masyarakat menyongsong era Indonesia emas yang lebih berdaya saing, sustainable, serta ekologis/ramah lingkungan.   

            Minallahil mustaan wa ilayhi tiqlan.

akhir dari kerja

“Akhir dari pekerjaan”
Oleh Nur Khaliq
Ketua umum Pimpinan Pusat IMDI

                Beberapa decade terakhir, kemajuan internet dan teknologi portable telah merubah keseluruhan wajah dunia. Hampir seluruh “kepala manusia” kini telah terkoneksi dengan jaringan internet dan seluruh siystem serta sendi-sendi masyarakat telah diusahakan diproses secara online.
                Perkembangan ini akhirnya mengantarkan kita pada dunia dimana bayi-bayi lahir bersama gadget, bermain bersama I-ped, dan tumbuh besar bersama laptop, kalaupun tidak menikah dengan komputer. Dan para pengajar disekolah-pun dijadikan bingung menghadapi murid-murid yang lebih pintar dari gurunya. Hingga lahirlah anekdot dikalangan para pakar pendidikan, bahwa “era ini adalah satu-satunya era sepanjang sejarah peradaban manusia, dimana guru mengajar muridnya tentang sesuatau yang ia sendiri tidak mengerti tentangnya”.
                Meski perdebatan seputar kebolehan murid mengakses internet dalam proses balajar mengajar di kelas masih tetap berlangsung di negaranya kita, -sebagaian pakar membolehkan dan sebagian lainnya menilai negative-, namun di beberapa negara maju, seperti juga Amerika dan Eropa, sebagian besar guru telah membolehkan muridnya mengakses berbagai sumber referensi dari internet ketika belajar. Sementara negara lain seperti di Kanada, para guru melangkah lebih maju dengan penggunaan perangkat virtual reality dalam proses belajar mengajar. Dengan perangkat ini, murid dapat secara langsung mengunjungi museum-musium, perpustakaan-perpustakaan, atau menyentuh anatomi organ-organ tumbuhan, hewan atau manusia secara 3D (tiga dimensi) sehingga terasa lebih aplikatif dan lebih mudah memahami penjelasan gurunya.
                Perubahan yang mendasar dalam masyarakat akibat teknologi, dan termasuk juga dalam dunia pendidikan akhirnya membimbing perubahan pada dunia kerja sebagai estafet lanjutan dari proses formal  pendidikan.
                Jika di tengah masyarakat kita pengertian konvensional tentang kerja banyak di bangun oleh defenisi conservative terhadap apa yang kita lakukan setiap hari, seperti datang ke tempat kerja, menggunakan pakaian tertentu/khusus, beraktivitas selama beberapa jam yang telah ditentukan oleh instansi tempat bekerja atau Undang-Undang, dan mendapat upah yang senilai dengan pekerjaan yang telah kita lakukan atau sesuai standar upah minimum kota, maka Perkembangan yang menakjubkan pada perangkat telphon genggam dan email kini juga telah merombak model kerja tradisional tersebut.
                Diberbagai negara maju seperti Jepang dan Amerika dan juga Eropa, beberapa tahun terakhir berkembang genre baru dalam bekerja. Para pekerja tidak lagi harus ke kantor, menggunakan baju seragam tertentu, berktivitas dalam box/ruangan-ruangan tertentu dan dengan jumlah jam tertentu, akan tetapi cukup tinggal dirumah, online, dan menyelesaikan pekerjaan kantor dengan nyaman. Kecendrungan ini diprediksi akan mengakhiri rezim waktu kerja yang mapan. Dengan model ini-pula, para pekerja hanya dituntut selalu siap dihubungi kapan saja, bahkan juga di luar waktu kerja yang diatur dalam undang-undang.
                Banyak nilai positif yang dapat di petik atas perkembangan ini, diantaranya; memungkinkan manusia untuk mengurangi dampak negative berupa elienisasi industrialism, penghisapan, penindasan, perbudakan modern, tekanan kerja dan dehumanisasi akibat pembagian kerja, pengoprasian mekanistis pekerja layaknya mesin pabrik, tempat kerja dan pekerjaan yang buruk, vis a vis antara serikat pekerja dan majikan, demonstrasi buruh di May day, dan yang tidak kalah penting, tersedianya waktu berkualitas bagi para pekerja untuk menikmati aktifitas berkumpul bersama keluarga serta rekreasi. Namun demikian, model ini nyatanya tetap memiliki efek negative berupa bentuk baru stres, seperti ‘Burn-out-Syndroms’- yaitu kelelahan psikis akibat pekerjaan sebagai dampak dari kecendrungan masyarakat hiperkerja atau “Pekerjaan tanpa akhir”.
                Maka jadilah “akhir dari pekerjaan” dan selamat datang “pekerjaan tanpa akhir”.
                Idealnya, Kerja merupakan manifestasi tertinggi dalam hirarki kebutuhan manusia. Seperti yang  di teorikan oleh Maslow. Kerja menurut Maslow adalah bentuk aktualisasi diri, dan aktualisasi diri hanya dapat tercapai setelah seluruh kebutuhan dasar lain seperti makan dan minum, udara yang segar, tubuh yang sehat, cinta dan kasih sayang telah terpenuhi. Selain itu, banyak filosof yang menempatkan kerja sebagai esensi dari keberadaan manusia di muka bumi. Dalam Islam sendiri, kerja merupakan manifestasi khalifaan manusia yang diciptakan Tuhan sebagai wakilnya untuk memakmurkan bumi.    Selanjutnya, dalam Al-Qur’an Surat Al-Insyrah ayat 7-8 diserukan: 
                                                                                                                                . وَإِلَىٰ رَبِّكَ فَارْغَبْ.فَإِذَا فَرَغْتَ فَانْصَبْ
Artinya: “Maka apabila kamu telah selesai (dari sesuatu urusan), kerjakanlah dengan sungguh-sungguh (urusan) yang lain. Dan hanya kepada Tuhanmulah hendaknya kamu berharap”.
                Oleh karna itu, kerja tidak seharusnya hanya dinilai sebagai usaha untuk memenuhi kebutuhan physiologist dan materil-consumeris melulu, namun lebih dalam dari itu, ada nilai-nilai spiritual dan keilahian yang senantiasa terkandung di dalamnya.


Minallahil mustaan wa ilayhi tiqlan

Senin, 08 Januari 2018

catatan kritis RAKER-KORNAS DDI

Catatan Kritis Rakerakornas DDI Jilid II
Nur Khaliq
Ketua umum PP IMDI
Diera keterbukaan seperti saat ini, opini dan gagasan rasanya abash saja dituangkan dimedia manapun selama itu tidak melanggar norma dan kepatutan. Oleh karna itu, opini kiranya bias menjadi media komunikasi bagi semua. Opini juga kiranya menjadi karang bagi derasnya arus ombak yang kuat, atau menjadi batu kali bagi arus sungai yang deras. Namun menjadi seperti ikan yang tidak tergarami meski hidup di air asin adalah pilihan yang bijak.
Bagi sebuah organisasi, dinamika dan konflik adalah bumbu yang justru akan menjadikannya mantap. Seperti syair lagu Inul Daratista, “dangdut yang tanpa goyang, akan terasa kurang nikmat, kurang sedap”. Dengan catatan, dinamika dan konflik itu mampu dikelola sebagaimana orchestra yang mengkhasilkan sinfoni nada yang indah. Dinamika dan konflik Bukanlah “madu ditangan kanan dan racun di tangan kiri” yang musti dipilih dan diperselisihkan.
Pada prinsipnya, semakin berdinamika dan berkonfik sebuah organisasi, juga mencerminkan semakin progresif perkembangan organisasi tersebut. Demikianlah bagi organisasi besar sekelas Daru da’wah wal irsyad (DDI).
Beberapa hal yang penting untuk dimaklumi saat ini adalah bahwa vase dinamis yang dialami DDI saat ini adalah vase yang niscaya. (Semua organisasi besar pernah mengalaminya) Tahapan ini diyakini bukannya akan menjadikan DDI lemeh, namun sebaliknya, justru akan menjadikan DDI semakin tangguh dan kokoh.
Seperti sebatang pohon, yang semakin akarnya menemukan batu, berarti semakin dalam ia menghujam ke bumi, atau semakin batangnya diterjang badai, berarti semakin tinggi pucuk dan rantingnya menjulang ke langit. Mungkin akan ada cabang dan rantingnya yang lapuk atau retak, namun secara keseluruhan tidaklah kita seharusnya skeptic dan menilai negative bahwa seluruh pohon akan mati. Atau mungkin ada satu atau dua buah yang busuk, namun tidak seharusnya kita skeptic dan berkesimpulan bahwa regenasi secara keseluruhan telah rusak dan tidak akan tumbuh generasi baru yang lebih tangguh dan lebih baik. Demikianlah DDI hari ini.
Untuk itu, Rapat Kerja Dan Kordinasi Nasional yang akan dilaksanakan di Pondok Pesantren Manahilil Ulum DDI Kaballangan, Kecamatan Duampanua Kabupaten Pinrang, 16-17/12/2017 mendatang, kiranya menjadi ajang silaturahmi Nasional seluruh insan pengabdi dan anak-anak ideologis panrita Bugis, serta sebagai saluran gagasan untuk kemajuan keummatan dan kebangsaan.
Kue besar untuk pesta besar
PB DDI sebagai pilar puncak penentu kebijakan strategis, memiliki posisi penting dalam menentukan arah dan pencapaian organisasi, untuk itu, sudah seharusnya PB DDI dalam RAKOR-RAKERNAS kali ini mendorong penetapan agenda-agenda strategis dan RENSTRA (Rencana Strategis) yang lebih pragmatis-sistematis, serta berskala local, nasional, regional dan global. Tidak hanya melulunya berkutat pada agenda-agenda local sektoral yang bersifat sempit dan telah kadaluarsa.
Maka untuk itu, beberapa tinjauan kiranya dapat dipertimbangkan, diantaranya; Ditingkat local, PB DDI dan seluruh prangkat administertifnya, diharapkan mampu ningkatan kualitas lulusan pendidikan disemua level. Salah satunya, dengan kembali menghidupkan tradisi berbahasa asing yang saat ini terasa hilang. Selain itu, DDI juga diharapkan mampu memplopori pengajaran dan pembelajaran “Pendidikan Multicultural dan Cross-Cultural Study” disemua level pendidikannya, sebagai respon strategic DDI dalam menghadapi pemberlakuan kerjasama antar negara ASEAN atau yang lebih popular dikenal dengan sebutan Masyarakat Ekonomi Asean (MEA).
Ditingkat nasional, PB DDI diharap mampu mendorong organisasi ini lebih berperan aktif dalam mensukseskan agenda-agenda Pembangunan Nasional. Terutama dibidang-bidang yang erat bersangkut dengan Trilogy DDI. Selain itu, dengan berpahamkan bawa “asset terbesar DDI adalah warga DDI itu sendiri”, maka PB DDI juga diharapkan mampu megusahakan penempatan warga DDI yang memiliki kualitas personan untuk menempati sector-sektor public strategis Nasional. Dengan strategi seperti ini, diharapkan mampu mereduksi berbagai potensi konflik dalam batang tubuh DDI. Dan dengan model ini pula, “akan ada kue yang lebih besar yang biasa kita pertengkarkan”.
Ditingkat Regional, bisa dipastikan bahwa tantangan Masyarakat Ekonomi Asean (MEA) juga akan menyapu halaman rumah DDI. Kedepan, sector-sector yang menjadi agenda kerjasama regional ini akan mengalir deras. Akan datang tenaga-tenaga professional asing yang merebut sector-sektor strategis dalam lingkungan kerja dan profesi masyarakat kita. Bukan tidak mungkin  masalah ini akan menggerus dan mengeliminasi kader dan warga DDI dari lapangan permainan.
Masyarakat Ekonomi Asean (MEA) sejatinya merupakan peluang besar bagi DDI dan bangsa ini untuk mencapai kemajuan. Dengan catatan, ia mampu merespon positif kebijakan strategis regional ini dengan peningkatan skill dan kualitas sumberdaya manusianya melalui pelatihan dan pendidikan. Maka dengan kondisi ini, PB DDI dalam pertemuan esok, diharapkan mampu “megetuk palu” berbagai rencana strategis yang menyangkut berbagai peningkatan skill, pelatihan dan pendidikan untuk peningkatan kualitas masyarakat DDI secara khusus dan masayarakat Indonesia umumnya.
Ditingkat global, agenda-agenda Sustainable Development Goals sudah seharusnya juga menjadi agenda pembahasan di tingkat RAKER-RAKORNAS PB DDI. Dengan mendorong peran dan fungsi aktif organisasi dalam pembicaraan-pembicaraan agenda-agenda global.
Ada banyak agenda global yang biasa ikut didiskusikan dan dimainkan oleh organisasi besar sekelas PB DDI diantaranya, usaha bersama untuk pengentasan kemiskinan dan kelaparan global (End poverty and End hunger) peningkatan kualitas hidup sehat (Good Health and Well-Being), pendidikan yang berkualitas untuk semua (Quality Education), kesetaraan dan keadilan gender (Gender Equality) keadilan dan kedamaian global, dan ratusan agenda global lainnya.
Kami percaya, bahwa RAKER-RAKORNAS PB DDI mendatang adalah manifestasi dari keberkahan do’a dan munajad para Anregurutta, dan kami percaya, bahwa pertemuan mendatang akan menghasilkan putusan-putusan yang berkualitas sebagai guideline bagi pengembangan DDI dan seluruh warga Addariyah secara keseluruhan.

Minallahil Musta’an Wa Ilayhi Tiqlan