Selasa, 07 November 2017

SAMBUTAN HARLAH 48 IMDI

SAMBUTAN HARLAH 48 IMDI

اسلم علیکم ورحمہ اللہ وبرکاہ
بسم اللہ الرحمن الرحیم
إِنَّ الْحَمْدَ لِلَّهِ نَحْمَدُهُ وَنَسْتَعِيْنُهُ وَنَسْتَغْفِرُهْ ۔وَنَعُوذُ بِاللهِ مِنْ شُرُوْرِ أَنْفُسِنَا وَمِنْ سَيِّئَاتِ أَعْمَالِنَا، مَنْ يَهْدِهِ اللهُ فَلاَ مُضِلّلَهُ وَمَنْ يُضْلِلہْ فَلن تجد لَهُ ولیا مرشدا
. وَالصَّلاَةُ وَالسَّلاَمُ عَلَى أَشْرَفِ الْمُرْسَلِيْنَ، نَبِيِّنَا مُحَمَّدٍ صلى الله عليه وسلم وَعَلَى آلِهِ وَأَصْحَابِهِ وَالتَّابِعِيْنَ وَمَنْ تَبِعَهُمْ بِإِحْسَانٍ إِلىَ يَوْمِ الدِّيْنِ،
أَمَّا بَعْدُ
Puja dan puji syukur kita panjatkan kehadirat Allah SWT, karna berkat rahmat dan hidayahnya, sehingga kiata bisa berkumpul ditempat yang sederhana ini, untuk merayakan hari lahir ke 48 Ikatan Mahasiswa DDI.
Shalawat serta salam kita harutkan kepada junjungan kita Muhammad SAW kepada keluarganya, kepada sahabat-sahabartnya dan kepada orang-orang yang menginguti petunjuknya hingga akhir zaman.
Mursyid dan mrsyidah yang saya banggakan.
Dari kejauhan saya menghaturkan permohonan maaf yang sebesar-besarnnya karna terhalang ruang dan waktu, sehingga tidak mampu berkumpul bersama di hari yang membanggakan. HARLAH ke 48 Ikatan Mahasiswa DDI.
Dari kejauhan pula, Saya sadar dan terus mengikuti berbagai perkembangan yang  terus berdialiektika di dalam tubuh organisasi, namun, hingga detik dimana kata sambutan ini saya tulis, saya masih tetap kukuh bahwa apa yang saya lalukan adalah untuk kebaikan dan kemajuan kita bersama.
Kader pengabdi yang kami banggakan.
Awal 2013 yang lalu, saya menginisiasi kegiatan KOSMOLOGI (Kursus Arkeologi Pemikiran Kiyai) Yang mengangkat tema “Dua Abdurrahman- Pembaharu Timur Dan Barat, Abdurrahman Amboo Dalle Dan Abdurrahman Wahid”. Sebuah kursus pemikiran, sebuah kegiatan yang murni datang dari gagasan dan hasil ijtihad mursyid-mursyidah IMDI. Kegiatan yang kami kelaim sebagai kursus pemikiran pertama di Indonesia Timur, karna belum pernah di lakukan oleh organisai manapun selain IMDI. Sesuatu yang menurut kami patut kita banggakan. Dan di akhir kegiatan waktu itu, item kegiatan ini kemudian kami  ajukan  dan kami wakafkan sebagai kegiatan supleman di IMDI.
Dalam kegiatan KOSMOLOGI ini pula, saya  mengeksplorasi sebuah gagasan lama  dalam tubuh DDI, yaitu visi internasional DDI yang sejak dahulu di gagas dan di usahakan oleh Anregurutta para founding father DDI. Gagasan lama ini kami coba bangkitkan kembali dan menjadikannya materi kegiatan yang kami beri judul “internasionalisasi DDI”, judul materi ini kemudian kami konsultasikan langsung dengan Gurutta Almarhum Prof Muiz Kabry, selaku Rais Amm DDI waktu itu. Judul materi ini kemudian sangat di apresiasi oleh Almarhum dan beliau sendiri yang kemudian memangkuh langsung materinya, yang kemudin menjelaskan banyak fakta soal kebesaran visi dan misi internasional DDI.
Gagasan internasionalisasi DDI waktu itu, mungkin hanyalah sebuah gagasan tua yang kami coba eksplorari dan hidupkan kembali. Namun apresiasi yang di berikan oleh Rais Amm DDI justru menjadi inspirasi dan beban tersendiri bagi saya pribadi, bahwa apa yang telah kami gagas harus kami usahakan dan wujudkan.
karna bila tidak, maka patutlah  kami di cap sebagai kader yang menggagas sebuah kebohongan atau menggagas omong kosong yang ia sendiri tidak mampu wujudkan. Dan tentu laknat Tuhan bagi mereka yang mengatakan sesuatu, namun ia sendiri tidak mampu melakukannya.
Allåh subhanahu wa ta’ala berfirman:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لِمَ تَقُولُونَ مَا لَا تَفْعَلُونَ | ٦١:٢
كَبُرَ مَقْتًا عِنْدَ اللَّهِ أَنْ تَقُولُوا مَا لَا تَفْعَلُونَ | ٦١:٣
Artinya : Hai orang-orang yang beriman, mengapa kamu mengatakan apa yang tidak kamu perbuat? Amat besar kebencian di sisi Allah bahwa kamu mengatakan apa-apa yang tiada kamu kerjakan. (Q.S : Ash- Shaff : 2-3).
Mursyid dan mursyidah yang kami banggakan
Yang ke dua, lima tahun yang lalu, saya secara pribadi juga telah berkeliling, berkungjung ke cabang-cabang IMDI, hanya sekedar untuk berdiskusi tentang berbagai persoalan dan permasalahan dalam IMDI. Dan hasil dari ekspedisi itu menyadarkan saya bahwa hampir seluruh cabang IMDI mengalami persoalan yang sama. Yaitu “tidak jelasnya identitas IMDI”. Kader-kader di pangkep mengeluhkan tidak jelasnya karakter IMDI, kader-kader di pare  mencampur IMDI dengan PMII, di sidrap kader IMDI menyatu dengan HMI demikian juga di makassar, maros dan cabang-cabang lainnya. Hingga materi DKD dan DKM IMDI juga mengdopsi berbagai materi HMI atau PMII. Dan tentu saja persoalan ini juga kami rasakan sendiri ketika mengkader di komisariat UMI.
Realitas ini jugalah yang mendorong saya untuk mencari akar persoalan, dan kesimpulannya adalah “karna tidak adanya Nilai dasar yang menjadi identitas dan karakter kader” yang mampu di pengangi bersama dan menjadi kalimat pemersatu (kalimatun sawa) bagi kader-kader pengabdi. Maka dari itu, ijtihad kemudian kami usahakan di wilayah yang mungkin tidak semua kader mampu untuk menggarap itu.
Setelah riset dan penelitian beberapa tahun, draf NILAI DASAR PENGABDIAN IMDI pun kami rampungkan dan kami print tahun lalu. Tentu saja tanggapan kader sangat beragam. Kami  juga senantiasa berharap akan adanya berbagai masukan dan kritikan untuk penyempurnaan.
Dalam usaha penyusunan NDP IMDI ini pulalah, kami menyadari sebuah realitas penting  yang tidak bisa dihindarkan. Bahwa: hampir semua NDP organisasi lain disusun dan di gagas oleh penyusunnya setelah bertualang dan melanglang buana di luar negri. Sebut saja Nurchalis Majid yang menulis NDP HMI, beliau harus ke Amerika lalu ke Arab, untuk kemudian kembali dan lahirlah NDP HMI, demikian pula Gusdur, dan demikian pula NDP organisasi lainnya. Realitas yang satu ini penting dan justru menjadikan saya semakin kukuh untuk keluar negri, setidaknya membuka mata tentang realitas kebangsaan dan relitas keduniaan. Dan akhirnya, dari pengalaman ini pulalah, yang kami tuangkan dalam gagasan NDP IMDI yang kami klaim sebagai nilai dasar yang sangat luas dan fundamental. Nilai dasar ini kami klaim sebagai NILAI DASAR KEHIDUPAN dan juga NILAI DASAR PENGABDIAN bagi setiap orang, bukan hanya bagi kader-kader IMDI secara khusus, karna “Hidup Adalah Mengabdi, Dan Mengabdi Berarti Hidup”.
Generasi hijau kuning yang kami banggakan.
Selanjutnya, mengenai tema harlah yang ke 48 IMDI. Secara pribadi saya di mintai masukan tentang tema kegiatan. Waktu itu, spontan saja saya merasa bahwa tema itu telah ada dan telah jauh-jauh zaman di gariskan oleh Tuhan. Maka dengan segera saya bangkit dan membuka kitab suci Al-Qur’an, dan mencoba mencocokkan realitas IMDI hari ini dengan susunan surah. Dan termaktublah surah 48 Al-Qur’an ayat 1 dan 2.
إِنَّا فَتَحْنَا لَكَ فَتْحًا مُّبِينًا ﴿١﴾
Sesungguhnya Kami telah memberikan kepadamu kemenangan yang nyata, (1)
لِيَغْفِرَ لَكَ اللَّهُ مَا تَقَدَّمَ مِن ذَنبِكَ وَمَا تَأَخَّرَ وَيُتِمَّ نِعْمَتَهُ عَلَيْكَ وَيَهْدِيَكَ صِرَاطًا مُّسْتَقِيمًا ﴿٢﴾
supaya Allah memberi ampunan kepadamu terhadap dosamu yang telah lalu dan yang akan datang serta menyempurnakan nikmat-Nya atasmu dan memimpin kamu kepada jalan yang lurus, (2)
ayat pertama dan ke dua QS Fath ini kemudian kami ajukan agar menjadi tema HARLAH ke 48 IMDI. Selain tema-tema nyentrik semacam ini sangat jarang di munculkan dalam forum-forum IMDI, tema ini pula menyentuh ruang terdalam bathin kita untuk kembali “membaca”. Selain itu, Secara pribadi saya selaku ketua PP IMDI merasa bahwa era ini, adalah momentum kemenangan bagi IMDI, dan juga menjadi momentun kemajuan bagi organisasi. kondisi hari ini  akan sangat berbeda dari kindisi kemarin. Kenapa?, karna kader-kader IMDI hari ini telah punya visi dan kepercayaan diri untuk berdiri sama tinggi dengan HMI, dan duduk sama rendah dengan PMII, dan tentu saja bahu membahu dengan berbagai organisasi lainnya untuk memajukan bangsa dan agama.
Kepercayaan diri IMDI dapat kita saksikan dari  munculnya gagasan-gagasan bertaraf nasional. Simaklah misalnya group WA “IMDI se-Indonesia” yang baru-baru muncul belakangan ini. Bagi teman-teman, ini mungkin hanyalah group WA biasa, “Apalah Istimewanya!!!”.  Namun bagi kami, group WA “IMDI se-Indonesia” ini mencerminkan kepercayaan diri kader untuk tampil sejajar dan menjadi salah satu organisasi besar di Indonesia. Mengusung karakter sendiri sebagai kader pengabdi, ruang juang sendiri dengan gerakan spiritual, dan warna hijau dan kuning IMDI. Dan istimewanya lagi, karna gagasan ini lahir dari gess road IMDI.
Semangat ini tentu harus kita rawat bersama, IMDI bukanlah organisasi kampung. Seperti anggapan kader-kader yang lalu. IMDI bukanlah organisasi lokal yang berkutat hanya di Sulawesi atau di Indonesia Timur saja. tapi IMDI adalah organisasi nasional dan punya visi internasional. Sebuah visi besar yang tidak semua organisasi miliki. Sebuah visi kebangsaan, sebuah visi keindionesiaan yang berkemajuan. Dan langkah awal untuk mencapai itu tentu di mulai dengan “memperkaya” diri masing masing lalu mengajarkannya kepada orang lain.
Dan terkhir,
Lampaui gurutta.
Karna semakin engkau melampaui beliau, semakin bangga beliau akan keberhasilan DDI mencetak generasi-generasi hijau kuning yang lebih hebat.
Kesempurnaan seorang mursyid adalah ketika ia mampu mencetak mursyid yang lebih sempurna dari  dirinya.
“Siapa yang bisa menjadikan orang lain sempurna setelah dirinya sekalipun ia masuk neraka dan yang lain masuk surga, maka itulah orang yang matang (the mature person)”.
Selamat berHARLAH yang ke 48. Semoga kematangan usia membawa kematangan karakter.
UNTUK IMDI BERKEMAJUAN UNTUK INDONESIA YANG BERMARTABAT
مّن اللہ المستعا ن والیہ طقلان
Kepada Allah kita memohon dan kepadaNya pula kita bertawakkal
اسلم علیکم ورحمہ اللہ وبرکاہ

Filiphina 23 September 2017

Ketua Umum PP IMDI
Nur khaliq S.Kep, MSN


                                                                                                                                            

fase-fase perkembangan IMDI

fase-fase perkembangan IMDI
Risalah IMDI
Latar IMDI
 IMDI adalah badan otonom DDI. Setidaknya demikianlah pengertian dasar dan jawaban sederhana yang banyak dipahami dengan baik oleh banyak orang, baik internal kader DDI maupun orang-orang di luar keluarga Addariah. Namun, apakah sesungguhnya IMDI dan bagaimana ia?. Jawaban dari pertanyaan ini akan sulit dan butuh waktu lama untuk di jelaskannya.
Ikatan Mahasiswa DDI yang kemudian di singkat IMDI lahir 10 Koktober 1969 yang bertepatan dengan mukhtamar DDI yang ke XI di Watan Soppeng.[1].Secara historis, kelahiran IMDI dilatarbekangi oleh kondisi cultural masyarakan Sulawesi yang secara umum telah memiliki peningkatan dalam melek huruf dan pendidikan. Hal ini setidaknya direpresentasika oleh banyaknya alumni dari berbagai pondok pesantren dan atau Madrasah Aaliyah/SMA DDI yang melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi, yang dikemudian hari menjadi alas an dari dibutuhkannya sebuah lembaga/badan khusus yang menaungi aktifitas kemahasiswaan DDI.
Selain itu, sejak tahun 1963 Pengurus Besar DDI yang waktu itu dinahkodai oleh langsung oleh Anregurutta Ambodalle, telah rintis pembukaan Al-Jami’ah Al Islamiyah Ad-Dariyah atau Universitas Islam DDI yang kemudian di singkat UI-DDI Ad-Dariyah. Pendirian universitas ini tentunya sebagai wadah lanjutan dari alumni-alumni madrasah aliyah/ SMA DDI yang ingin melanjutkan minat dan niatnya untuk menuntut ilmu kejenjang lebih tinggi. Efektif dan terselenggaranya UI-DDI dalam menjalankan fungsi pendidikannya kemudian banyak mencetak mahsasiswa dan ulama-ulama yang professional di bidangnya. UI-DDI yang merupakan salah satu universitas tertua di Sulawesi bahkan di Indonesia Timur. Mahasiswa DDI yang semakin meningkat dalam kualitas maupun kuantitasny dikemudian hari banyak beraktifitas dan bersentuhan langsung dengan kerja-kerja membesarkan DDI. Dari sini, muncullah gagasan untuk menampung kreatifitas dan darah juang pemuda DDI ini dalam bentuk wadah pelatihan dan diklat sebagai  jalur kekaderan kepemimpinan DDI.[2]
Pada perkembangan selanjutnya, terbitnya peratuan pemerintah tentang persyaratan pendirian universitas yang mensyaratkan adanya fakultas yang membina ilmu eksakta, memaksa UI-DDI dengan 8 fakultas tersebar di berbagai daerah tingkat II di Sulawesi Selatan dan semuanya hanya fakultas ilmu agama, turun status menjadi Sekolah Tinggi Agama Islam (STAI) atau Instiusi Agama Islam (IAI).yang hingga kini masih berjalan dan tidak menunjukkan perkembangan yang signifikan.
Dalam perkembangan selanjutnya, Latar historis dan kondisi kontekstual seperti di atas-lah yang melatarbelakangi PB DDI dan Mursyid Muhibuddi (Selaku Pimpinan Pusat Pertama) dan kawan-kawan merintis pembentukan IMDI.[3] Pada awal berdirinya, IMDI fase pertama ini tidaklah berbentuk sebuah organisasi yang memiliki struktur kepengurusan dan system kerja structural layaknya organisasi moderen, namun lebih kepada kelompok-klompok atau  study club mahasiswa DDI yang secara kultur rutin hadir dan meluangkan gaggasan dan pengabdiannya dalam membesarkan induk organisasi. Pada fase awal atau fase embriologis ini, secara umum kegiatan IMDI tidak begitu nyata dan signifikan, Bahkan ada ungkapan familiar yang sering disematkan oleh beberapa orang ketika menyebut IMDI pada priode ini, bahwa “IMDI itu Laa Yamutu Fihaa Wa-laa Yahya” yang artinya “IMDI yang tidak hidup dan tidak pula mati”. Kondisi ini tentu dapat di maklumi, selain dikarnakan belum terbentuknya struktur organisasi secara kelembagaan, serta orientasi gerakan IMDI yang masih dikerahkan untuk mensukseskan kegiatan-kegiatan DDI, juga dikarnakan kondisi kenegaraan secara umum yang masih belum stabil pasca revolusi dann akibat ekses negative dari berbagai pemberontakan, terutama  pemberontakan DI/TII yang becokol dan beroprasi  di wilayah Sulawesi lebih dari 20 tahun lamanya, yang juga merupakan basis DDI. Pada masa ini, kondisi bangsa yang masih dalam proses pergolakan mencari bentuk juga secara emosional mempengaruhi karakter mahasiswa secara keseluruhan. Tercatat dalam rentan dasawarsa ini, bangsa ini mengalami beberapa kali pergantian kontitusi untuk menemukan konfigurasi negara ideal dan mencapai kestabilan kondisi. Mulai dari bentuk Negara Proklamasi Republik Indonesia (RI) pada 17 Agustus 1945, kemudian negara RI Serikat 1949, lalu berubah menjadi negara RI Sementara 1950, selanjutnya menjadi Negara Dekrit 5 Juli 1959, pada era perang dingin 1963 (plus Papua) dan tahun 1974 (plus Timor Timur), yang juga di ikuti berkali-kali perombakan cabinet.         Secara umum gambaran aktifitas kemahasiswaan disemua kampus-kampus pada dasawarsa ini sedang dalam upaya membangun visi kebangsaan dan model kenegaraan ideal. Dalam suasana lingkungan revolusi yang dinamis ini, aktivitas IMDI embriologis juga lebih banyak berfokus pada peningkatan kualitas pendidikan DDI, usaha pelebaran sayap DDI, pembangunan kekuatan ekonomi dan intesifikasi dakwah dalam lingkup  masyarakat Addariay dan masyarakat pada umumnya.
Fase selanjutnya adalah fase organisasional. Fase ke-dua ini berlangsung sekitar tahun 1980an yang ditandai dengan terbentuknya kepengurusan structural, di sepakatinya peraturan dasar dan peraturan rumah tangga (PD/PRT) IMDI, dan mulai diadakannya peroses rekrutmen kader serta proses kaderisasi berjenjang secara formal. Namun, meski IMDI telah memiliki  kepengurusan structural, wilayah kerja dan garapan organisasi ini masilah tetap lebih berfokus pada usaha untuk menyokong dan mensukseskan kegiatan-kegiatan besar DDI. Pada fase ini, kader-kader IMDI lebih banyak berperan serta sebagai panitia pelaksana dan menjadi pekerja pada acara-acara besar DDI, terutama pada acara mukhtamar DDI. hal ini tentu dikarnakan selain mahasiswa DDI dapat bersilaturahmi kembali dengan guru-guru mereka di MA atau pesantren dahulu, juga lebih di dasarkan karna mukhtamar DDI biasanya juga dirangkaikan dengan kongres seluruh badan otonom DDI lainnya.
Selanjutnya, dari sisi pemahaman dan pemaknaan kader-kader tentang IMDI, mursyid(ad) IMDI fase ini lebih memaknai IMDI sebagai organisal yang bersifat local kedaerahan. Kader-kader IMDI fese ini menilai organisasi ini hanya beroprasi sebatas di Sulawesi saja dan tidak mengusahakan untuk ekspangsi ke luar daerah. Selain itu, IMDI yang tumbuh dan berkembagn bersama dan berbaur dengan organisasi/lembaga lain yang telah lebih dahulu besar, mendapat banyak pengaruh dari HMI maupun PMII. Hampir bias di kata, seluruh prangkat organisai baik secara kultur maupun structural, terinpirasi atau bahkan copy-an dari HMI atau PMII. Dalam kondisi seperti ini, mucul stigma yang mengaitkan IMDI atau bahkan DDI sebagi organisasi yang sama saja dengan PMII-NU atau HMI-Muhammadiyah.
Fase ke-tiga dari perkembangan IMDI ialah fase kemandirian. Fase ini berlangsung  sekitar tahun 2000an. IMDI pada periode ini secara structural telah mampu mengadakan konges mandiri dan lepas dari badan otonom DDI lainnya. Kaderisasi IMDI pada periode ini lebih massif dan sistematis terutama setelah diwajibkannya seluruh mahasiswa DDI untuk mengikuti Diklat Kader Dasar (DKD) IMDI sebagai syarat utama untuk penyelesaian kuliyah atau KKN mahasiswa STAI/IAI DDI. 
Realitas bahwa kampus-kampus STAI atau IAI DDI juga merupakan basis kader dari HMI dan PMII juga menbawa dampak pada tidak mampunya IMDI untuk mengembangkan corak dan identitas sendiri. kader-kader IMDI secara keseluruhan mencirikan atau didominasi oleh warna dan corak dari organisasi lain. Pada fase ini pula, muncul stigma bahwa . “Jika kampus di dominasi oleh HMI, maka  IMDI berasa HMI, jika kampus di dominasi PMII, maka IMDI berasa PMII”.
Selain itu, pada priode ini, paradigma IMDI sebagai organisasi local masih tetap terpelihara, meski pada kenyataannya IMDI telah mampu melebarkan sayapnya ke beberapa provinsi selain dari Sulawesi Selatan.        
Fase ke-empat dari perkembangan IMDI adalah fase Ideologis. Fase ini berlangsung sekitar tahun 2010an. Efisiensi organisasi serta pendokumentasian yang lebih baik menjadi cirri utama fase ini. Selain itu, peningkatan nalar kritis kader-kader IMDI dalam menilai dan memaknai realitas kekinian juga membawa dampak perubahan yang besar bagi IMDI. Dari perubahan nalar kritis ini kemudian memunculkan keresahan dan keinginan kader-kader IMDI untuk merumuskan sendiri identitas spesifik yang menjadi corak identik yang nantinya membedakan IMDI dengan organisasi lainnya. Terbentuknya identitas dan karakter spesifik kader IMDI ini beimplikasi pada tuntutan segera dirumuskannya model dan metode kaderirasi yang lebih spesifik. Model dan metode spesifik ini dapat di lihat dari lahirnya Aswaja yang bercorak IMDI yang kemudian di sebut dengan Aswaja Akhlaqi dan NDP IMDI.
Namun demikian, setiap  aksi meniscayakan reaksi. Fase ideologis ini juga di tandai dengan gejolak internal organisasi karna pergeseran berbagai pradigma dalam menilai IMDI. Mulai dari perubahan arah pengembangan organisasi hingga cara pandang yang memvisikan IMDI sebagai organisasi berkelas Nasional, bukan lagi sebagai organisasi local sebagaimana anggapan generasi IMDI terdahulu. Selanjutnya, dengan perobahan paradigm ini, kini, kader-kader IMDI dengan penuh percaya diri “berdiri sama tinggi dan duduk sama rendah” sejajar dengan organisasi lain seperti HMI,PMII,IMM,GMKI,GMNI,KAMMI,PEMKRI dll, dalam upaya bahu-membahu bergotong royong membangun peradaban bangsa.
IMDI percaya, bahwa peradaban bangsa besar ini tidak mampu di bangun dengan hanya mengandalkan perpaduan warna hijau-hitam saja, atau biru-kuning saja, namun harus dengan partisipasi dari seluruh elemen warna dan usaha dari semua warga, termasuk amal pengabdian dari mursyid hijau-kuning IMDI. Saling bahu-membahu dalam dinamisasi dan dialektika, dalam semangat kekeluargaan dan kesetaraan. Seperti sebuah orchestra yang berisi berbagai alat music yang berbeda-beda namun panduan pada paduannya justru menghasilkan sinfoni nada yang indah. Demikianlah Indonesia, berbeda-beda tetap satu jua.

Bersambung.........




[1] Azhar arsyad,dkk. Ke-DDI-an sejarah dan pandangan atas isu-isu kontemporer. Yogyakarta. 2005
[2] Suara DDI, Jurnal. Ed 1. Makassar. 2000. Hal 72.
[3]Sudirman Hadisa. Wawancara. Parepare. Dalam sesi Rapat Pimpinan Nasional (RAPIMNAS IMDI) yang diadakan di Wisata Alam Ladoma Kota Parepare Pada tanggal  13 – 15 Februari 2017


ASWAJA AKHLAQI

TAUHID/ TEOLOGI ISLAM
AQIDAH AHLUSUNNAH WAL-JAMA’AH
BAGIAN I
I.       PENDAHULUAN
Konsep tauhid yang di kembangkan dalam organisasi Darud Da’wah Wal-Irsyad (DDI) adalah aqidah Islamiyah berhaluan Ahlusunnah Wal-Jama’ah . hal ini sesuai dengan Anggaran Dasar (AD) DDI pasal 3 berbunyi: organisasi ini beraqidah Islamiyah berhaluan Ahlusunnah Wal-Jama’ah. Untuk itu, aqidah Islamiyah yang berhaluan Ahlusunnah Wal-Jama’ah merupakan sistem nilai yang dianut  oleh DDI, sehingga dalam DDI kelihatannya istilah Ahlusunnah itu merupakan istilah ideologi yang meringkas  gambaran menyeluruh tentang The Way Of Life-nya bukan sekedar istilah seperti yang di gunakan dalam ilmu kalam atau teologi Islam, tetapi menyangkut seluruh aspek kehidupannya.
Dalam bidang tauhid, sistem nilai yang dianut dan di kembangkan DDI adalah mengikuti faham Asy’ariyah. Sementara dalam fikhi sumber pengambilan hukum adalah Al-Qur’an, hadits, ijmak (konsensus para ulama) dan qiyas (analogi), berbeda dengan golongan lainnya yang tidak mengakui  keutuhan empat sumber pengambilan hukum itu yang cendrung untuk tidak menggunakan ijmak dan qiyas dengan menggantinya ijtihad, walau sangat sulit membedakan secara mendasar antara ijmak dan qiyas dengan ijtihad.
Ahlusunnah Wal-Jama’ah sebagi suatu ajaran biasanya secara singkat di sebut Ahlusunnah atau golongan Sunniy, yang merupakan golongan terbesar umat Islam di dunia di samping syi’ah. Dari segi histioris sosiologis sesunguhnya dapat dikatakan bahwa golongan Sunniy tumbuh secara defensif tidak mau bergabung dengan Syi’ah Ali dalam perebutan kekuasaan setelah Khalifah ke tiga, Usman Bin Affan wafat.
Dari segi historis teologis pertumbuhan Ahlusunnah Wal-Jama’ah muncul secara bersama—sama dengan rangkaian empat Aliran hukum Islam  yang terkenal, yaitu aliran atau mazhab Hanafi, Maliki, Syafi’i dan Hambali, yang telah terbentuk pada abad II H. Pada masa itu, fikhi (hukum) dan teologi (kalam) berada dalam satu kesatuan yang tak terpisahkan. Syariah Islam yang pada dahulunya di maksudkan mencakup keseluruhan cabang ajaran Islam. Hanya saja sekarang ini, jika disebut Syariah Islam, maka biasa dimaksudkan hanyalah masalah fikhi.
Pertentangan teologi dalam Islam mula-mula timbul setelah Ali Bin Abi Thalib sebagai Khalifah IV yang sah menerima gencatan senjata dengan penyelesaian arbitrase atas pertempurannya dengan Muawiyah (keluarga dekat Usman) yang tidak mau tunduk kepada Ali, yang berujung kekalahan di pihak Ali. Akibatnya, tentatra Ali yang tadinya setia, menolak dan membentuk barisan baru, yang nantinya dikenal dengan golongan Khawarij. Golongan Khawarij ini dikenal sangat ekstrim dalam Islam. Ia berpendapat semua orang yang tidak sepaham bengan dia adalah kafir termasuk Ali, dan mereka wajib di bunuh. Sebagai imbangan dari golongan Khawarij ini lahirlah golongan Murjiah, yang berpendapat bahwa iman tidaklah berkaitan sama sekali dengan amalan lahiriyah, sehingga seorang yang telah mengucap dua kalimat Syahadat tidak ada alasan lagi untuk mengatakannya kafir bila ia mengerjakan kemaksiatan (dosa besar)
Kemudian berbarengan dengan itu,  muncul persoalan yang sangat kontrofersial yang berkaitan dengan kehendak dan kekuasaan Tuhan, di anaranya: Apakah manusia berkebebasan atau dalam keadaan terpaksa (tidak berdaya)  berhadapan dengan takdir Tuhan?.  Dalam kaitan ini, timbul golongan Jabariyah, yang berpendapat bahwa manusia dalam keadaan sepenuhnya  tergantung kepada ketentuan (tekdir) Tuhan, manusia tidak lain hanyalah bagaikan kapas diterbangkan angin,  kemana saja angin membawanya, kesitulah dia,  tanpa memiliki sedikitpun kesanggupan untuk mengelak. Sebagai imbangan dari pendapat ini, timbul pula golongan Qadariyah, yang berpendapat bahwa manusia itu berkebebasan dalam  menentukan nasibnya tanpa campur tangan Tuhann. Dan sebagai kelanjutan dari paham Qadhariyah ini muncul golongan Muktazilah yang  di pelopori oleh tokoh utamanya Washil Bin Atha’, yang berpendapat bahwa manusia itu bebas atau mampu menentukan sendiri nasib dan jalan hidupnya serta tidak mengakui adanya sifat-sifat Tuhan. Golongan Muktazilah ini mendapat dukungan dari pemerintah (Khalifah), sehingga bebas memaksakan pendapatnya terhadap kaum muslimin.
Pada saat golongan Muktazilah itu berkuasa, dapat dikatakan bahwa praktis sunnah/hadits Nabi dan petunnjuk-petunjuk yang telah diberikan oleh para sahabat tidak lagi di fungsikan secara wajar ditengah-tengah masyarakat Islam. Sebab, mereka berprinsip bahwa sunnah/hadits yang biasa di jadikan hujjah hanyalah yang berstatus mutawatir saja, sementara sunnah/hadits yang mutawatir itu jumlahnya sangat sedikit, yang banyak adalah sunnah/hadits yang berstatus dzanny, maka terdorong oleh situasi yang demikian itu, timbullah kesadaran sekelompok ulama/cendikiawan untuk tetap melestarikan sunnah Nabi dan para sahabatnya, sekalipun sunnah itu berstatus dzanniy asalkan shahih tetap di amalkan, sehingga lahirlah golongan Ahlusunnah Wal-Jama’ah
Kristalisasi doktrin teologis Ahlusunnah ini berlangsung sekitar abad X M. atau abad III H. walaupun sebelum itu ajaran Islam Ahlusunnah sudah ada berkembang dan dianut oleh mayoritas kaum muslimin, namun kehadirannya belum terkonsentrasi dalam suatu golongan atau firqah dalam Islam, karna masih berjalan sebagaimana pada masa Rasulullah SAW dan sahabat-sahabatnya tidak ada penggolongan yang demikian, sebab memang hanya itulah satu-satunya faham yang  dianut masayarakat muslim dalam hal kehidupan aqidahnya.
Kebangkitan ulama/cendikiawan tersebut, terutama diilhami oleh hadits nabi yang berbunyi:
Sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam:
مَنْ سَنَّ سُنَّةً حَسَنَةً فَلَهُ أَجْرُهَا وَأَجْرُ مَنْ عَمِلَ بِهَا إلى يَوْمِ الْقِيَامَةِ
Siapa yang memulai untuk memberi contoh kebaikan (dalam Islam) maka ia mendapat pahala perbuatannya dan pahala orang-orang yang mengikuti (meniru) perbuatannya itu sampai hari Kiamat” (HR. Muslim)
من احیا سنہ من سنتی قدامبیتت بعد فا نہ لہ من الا جرمثل من عمل ھا من غیر ان ینقص من اجور ھم شیا ومن ابتدع بدعہ ضلالةلايرضا ها اللة ورسولة كان من الاثم اثام من عمل ها لاينقص ذلك من اوذارهم شيئا

Terjemahnya: Barangsiapa yang menghidupkan satu sunnah dari pada sunnah-sunnahku yang tercecer sedah matiku, maka sesungguhnya ia telah mendapatkan pahala sebagaimana orang yang mengamalkannya tanpa  dikurangi barang sedikitpun. Dan barangsiapa yang mendatangkan bidáh yang jelek yang tidak di ridhai oleh Allah dan rasulnya adalah baginya dosa sebagaimana dosa dari orang-orang yang menganjurkannya tidak kurang barang sedikitpun”.
Dalam hadits Rasulullah memberi gambaran akan munculnya banyak firqah/golongan di kalangan umat Islam, namun yang selamat adalah mereka yang menganut ajaran Islam Ahlusunnah Wal-Jama’ah. Di antara hadits-hadits itu adalah sabda nabi  dalam  riwayat Turmizi dari Abdullah Bin ‘Amr, berbunyi:
إِنَّ بَنِيْ إِسْرَائِيْلَ تفرَقَتْ عَلَى إِحْدَى وَسَبْعِيْ مِلَّةَ وتفرِقُ أُمَّتِيْ عَلَى ثَلاَثٍ وَسَبْعِيْنَ مِلَّةَ كُلُّهَا فِي النَّارِ إِلاَّ مِلَّةَ وَاحِدَةً؛قل من هِيَ يارسول اللة ؟ قال ما انا علية واصحا بي  
Terjemahnya: Sesunggunya bani Israil telah berpecah belah menjadi 72golongan, dan umatku nanti akan terpecah menjadi 73 golongan, semuanya itu akan masuk neraka kecuAli hanya satu golongan tidak. Para sahabat bertanya: siapakah golongan yang satu itu ya Rasulullah? Jawab nabi: itulah golongan yang menjalankan sebagaimana yang aku jalankan bersama para sahabatku”.
Dan hadits nabi yang lain, misalnya riwayat Ibn Majah dan Ahmad Bin Hanbal dari Anas Bin Malik Nabi menjawab pertanyaan para sahabat dengan mengatakaan
Bahkan dalam riwayat al-thabarani, jawaban nabi lebih dipertegas lagi dengan mengatakan :
Pelopor kebangkitan golongan Ahlusunnah Wal-Jama’ah diantaranya adalah Abu Hasan Al-asy’ari (873-935) ia lahir di Bashrah, tapi besar di Bagdad. Al-Asy’ari pada mulanya adalah pengikut Muktazilah, murid dari  Al-Jubbai, seorang ulama besar Muktazilah, dan bapak tirinya sendiri. akan tetapi pada usia sekitar 40 tahun, Al-Asy’ari beralih menjadi penganut faham ortodoks (Ahlusunnah) yang kemudian teoritikus dan arsitek bagi pembangunan sistem teologi Sunniy dengan berhasilnya merumuskan sistem kepercayaan yang secara umum di anut oleh kaum muslimin sejak dari zaman Rasulullah dan sahabatnya. Faham yang dibangun oleh Al-Asy’ari ini kemudian dikenal dengan golongan Al-Asy’ariyah.
Faham Al-Asy’ariyah ini pada mulanya dicurigai oleh kaum muslimin, sebab faham ini pada dasarnya merupakan suatu modus vivendi  antara faham Qadhariyah dan Jabariyah dan antara faham Musyahibbihah (yang mensifatkan Tuhan sama dengan sifat makhluknya) dengan faham Muktazilah (yang  menentang adanya sifat Tuhan). Tetapi berkat pengaruh imam  Al-Gazali seorang penganut faham  Asy’ariyah, maka semakin populerlah faham Asy’ariyah dan pada akhirnya diterima secara utuh oleh masyarakat Islam pada umumnya sebagai sistem teologi satu-satunya dalam dunia Islam.
Sebenarnya, sebelum Al-Asyari telah ada seorang tokoh Ahlusunnah yang mencoba mempelopori bangkitnya faham ini, yaitu imam Abu Manshur Al–Maturidi (852-944) seorang ulama penganut faham Hanafi di bidang fikhi, berbeda halnya dengan Al-Asy’ari yang menganut faham Syafi’i dalam bidang fikhih. Al-Maturidi ini lebih populer dikalangan masyarakat Islam yang berada di daerah timur sungai Eufrat Tigris (Samarkand)

II.    PENGERTIAN AHLU SUNNAH WAL-JAMA’AH
Pengertian Ahlusunnah Wal-Jama’ah dilihat dari sudut istilah ialah:
Kata Ahlun (أهل) berarti pengikut atau penganut.
Kata sunnah (السنة) berarti segala ajaran yang datang dari Rasulullah SAW. Baik dalam bentuk perkataan, perbuatan maupun taqrir (persetujuan nabi yang termanifestasikan pada diamnya beliau menghadapi perkataan dan perbuatan para sahabat pada masa beliau masih hidup).
Kata Al-Jamaah (الجماعة) yang berarti:
1.      Jamaah sahabat
2.      Al-Khulafaur-Rasyidin, yaitu Abu Bakar, Umar, Usman dan Ali.
3.      Kesatuan umat Islam yang telah mangakui/mengikuti pemerintahan yang sah
4.      Al-Sawad Al-A’dzam (golongan yang terbesar) dari kaum muslimin.
5.      Para imam mujtahid (Hanafi, Maliki, Syafi’i dan Hambali)
6.      Doktrin Abu Hasan Al-Asy’ari dan imam Abu Manshur Al-Maturidi.

Dari rangkaian arti dalam peristilahan di atas, dapatlah diketahui pengertian Ahlusunnah Wal-Jama’ah sebagai ajaran dari satu golongan, yaitu golongan kaum muslimin yang dalam melaksanakan ajaran syariat agamanya di bidang tauhid (Iman), fikhih (Islam) dan tasauf (Ihsan) senantiasa:
1.                  Berpegang teguh pada Al-Qur’an dan sunnah Rasulullah SAW.
Al-Qur’an merupakan sumber azali, sedangkan sunnah Rasulullah SAW, merupakan sumber bayani (penjelas) Al-Qur’an. Keduanya merupakan sumber utama ajaran Islam, sesuai dengan sabda nabi dalam riwayat imam Malik yang berbunyi:
تَرَكْتُ فِيْكُمْ أَمْرَيْنِ لَنْ تَضِلُّوْا مَا تَمَسَّكْتُمْ بِهِمَا : كِتَابَ اللهِ وَ سُنَّةَ رَسُوْلِهِ
Terjemahnya: Äku tinggalkan di tengah-tengah kamu dua hal, dimana kamu tidak akan tersesat selama kamu berpegang teguhkepada keduanya; yaitu kitab Allah dan sunnah rasul-nya”.
2.                  Berpegang teguh pada sunnah Khulafaur Rasyidin
Khulafaur-Rasyidin adalah orang yang benar-benar ikhlas terhadap agama Allah (Islam). Di samping itu, beliau adalah orang dekat dan mengerti benar ajaran agama yang di bawa Rasulullah SAW. Oleh sebab itu, golongan Ahlusunnah berpegang teguh atas sunnah para Khulafaur Rasyidin. Hal ini di dasarkan kepada sabda nabi dalam riwayat Abu daud dan al-turmizi dari abi najih yang berbunyi:
.....فا نة من يعش منكم فسيري اختلافا كثيرا، فعليكم بسنتي وسنة الخلفاء الراشدين المهديين عضوا عليها با لنواخذ....
Terjemahnya: “…….sesungguhnya siapa diantaramu yang hidup  sesudahku, niscaya dia akan melihat perselisihan faham yang banyak. Maka dalam situasi demikian, pegang teguhlah sunnahku dan sunnah pada Khulafaur Rasyidin yang di beri hidayah…….”.
Menurut Syeh Ibn ‘Afif dalam kitab Arba’in Al-Nabawi-yah bahwa dimaksud dengan sunnah Khulafaur Rasyidin itu adalah sunnah Abu Bakar, Umar, Usman, dan Ali. Sunnah yang mereka cetuskan itu berdasarkan Al-Qur’an dan sunnah Rasulullah SAW.

3.                  Berpegang teguh pada sunnah sahabat nabi pada umumnya
Menghormati para sahabat nabi dan memegang fattwa dan jejak mereka (sunnahnya) adalah termasuk salah satu dari prinsip ajaran Ahlusunnah Wal-Jama’ah.  Dalam kaitan ini, Rasulullah dalam salah satu sabdanya menegaskan:
ان اصحا بي كا لنجوم بأ يهم افتد يتم اهتم اهتديتم.
Terjemahnya: “Sesungguhnya sahabat-sahabatku laksana bintang-bintang kepada yang mana saja kamu semua mendapat petunjuk”.

4.                  Berpegang teguh pada ijmak
Ijmak adalah kesepakatan para ulama mujtahid sesudah wafatnya nabi muhammah SAW. Terhadap sesuatu masalah pada suatu masa yang tidak terdapat nashnyadalam Al-Qur’an ataupun sunnah Rasulullah SAW. Dalam  salah satu hadits Rasulullah riwayat al-turmizi dari ibn Umar dijelaskan:
إِنَّ اللهَ لاَ يَجْمَعُ أُمَّتِي عَلَى الضَّلاَلَةِ، وَيَدُ اللهِ مَعَ الْجَمَاعَةِ، وَمَنْ شَذَّ شَذَّ إِلَى النَّارِ
Terjemahnya: “Sesungguhnya Allah tidak akan mengumpulkan umatku dalam kesesatan. Dan tangan (kekuasaan) Allah bersama jamaah, dan barang siapa mengasingkan diri dari jamaah, maka terasinglah mereka ke dalam neraka”
5.      Berpegang teguh pada mazhab imam mujtahid sekiranya ia bukan ahli ijtihad.
Ijtihad dimaksudkan ialah jika sekiranya dalam Al-Qur’an dan sunnah Rasulullah tidak diketemukan nash tentang hukumnya atas sesuatu maka di benarkanlah ijtihad; yakni meggunakan seluruh kesanggupan untuk menetapkan hukum syariat.
Tentang ijtihad ini, dalam suatu hadits, Rasulullah SAW. Menegaskan bahwa:
.للمنجتهد اجران ان أصاب، واحد ان أخطأ.
Terjemahnya: “Bagi seorang yang melakukan ijtihad, apabila ijtihadnya benar ia mendapat dua pahala, dan sekiranya ia salah ia masih mendapat satu pahala”. (H.R. Bukhori Muslim).
Ijtihad sebenarnya terbagi dua macam, yaitu ijtihad Jam’iyan yang juga biasa disebut ijmak, sebagaimana yang telah di jelaskan, dan ijtihad Fardhiyyan (perseorangan), yakni dilakukan oleh setiap pribadi yang ahli dalam berijtihad dengan berbagai persyaratannya. Persyaratan minimal yang harus dimiliki oleh seorang mujtahid adalah:
a.       Mengetahui bahasa arab dengan segala ilmunya
b.      Mengetahui betul nash Al-Qur’an dan sunah Rasulullah SAW.
c.       Mengetahui ijmak
d.      Mengetahui ushul fikhi, dan
e.       Mengetahui nasikh dan mansukh.
Orang yang memenuhi persyaratan minimal ini kemudian melakukann ijtihad secara langsung merancang sendiri dari dalil-dalil yang pokok, yaitu Al-Qur’an dan sunnah, di sebut mujtahid Mustaqil. Akan tetapi bagi mereka yang tidak memenuhi persyaratan minimal di atas tidak dibenarkan ijtihadnya, sebab memungkinkan timbulnya anarchis dalam  penetapan hukum.
6.      Berpegang teguh pada faham golongan terbesar di kalangan umat Islam
Kenyataan adanya firqah dikalangan umat Islam menimbulkan konsikuensi lahirnya masalah khilafiyah, sejauh masalah khilafiyah itu terbatas pada bidang furu’iyah, yakni perselisihan pendapat para mujtahid yang terjadi dalam masalah penetapan hukum syariat, maka hal itu tetap akan menjadi rahmat bagi umat Muhammad. Akan tetapi apabila masalah khilafiyah itu menyangkut bidang aqidah, maka dalam hal ini akan terjadi pergesekan nila, membawa bencana terhadap umat Muhammad karna akan muncul golongan mu’taqad yang menyimpang dari ajaran Islam yang sebenarnya. Dalam hal ini ajaran Ahlusunnah Wal-Jama’ah memegang prinsip Al-Aswad Al-A’zham, sebagaimana yang di jelaskan oleh Rasuullah dalam salah satu sabdanya riwayat Ibn Majah yang berbunyi:
فاذارايتم اختلافا فعليكم بالسوادالأعظم مع الحق واهله.
Terjemahnya: “Jika sekiranya kamu melihat perselisihan pendapat, maka pegang teguhlan pendapat golongan terbesar yang bersama kebenaran dan mempunyai kaahlian (ahli ijtihad)”.

Adapun golongan terbesar dalam dunia Islam dapat dilihat dari segi luasnya daerah dang didiami dan jumlah penganutnya.  

7.      Berpegang teguh pada aqidah rumusan imam al-asyari dan imam al-maturidi
Imam Abu Hasan Al-Asy’ari lahir di Bashrah Irak pada tahun 260 H. dan wafat disitu juga pada tahun 325 H. nama lengkapnya adalah Abu Hasan Bin Ali Bin Ismail Bin Abdillah Bin Musa Bin Bilal Bin Abi Burdah Bin Musa Al-Asyári. Adapun Abu Manshur Al-Maturidi dilahirkan disuatu desa yang bernama Maturidi daerah Samarkand, Asia kecil, pada tahun 333 H. nama lengkapnya adalah Muhammad bin Muhammad bin Mahmud.
Beliau berdua adalah tokoh pembangun aqidah Ahlusunnah Wal-Jama’ah dengan satu rumusan yang sistematis guna menjamin kelestarian I’tiqad yang telah di I’tiqad-kan oleh Rasulullah SAW dan para sahabatnya jauh sebelum Abu Musa Al-Asy’ari dan Abu Manshur Al-Mathuridi dilahirkan ke dunia.


Note: Artikel ini disadur dari majalah suara DDI edisi I tahun 2000






ASWAJA AKHLAQI IMDI
Oleh : Nur Khaliq
Aswaja Akhlaqi adalah Aswaja yang sama saja dengan aswaja lainnya, baik dari sisi historis, imam mazhab rujukan, prinsip-prinsip, dst. Hanya saja, aswaja akhlaqi dalam konteks kaderisasi IMDI. hadir sebagai respon terhadap fakta bahwa terjadi kesenjangan dalam pemahaman antara teori dan amal keseharian yang sayangnya di alami oleh hampir semua kader organisasi yang berhaluan Ahlu sunnah wal-jamaah.
Aswaja bagi sebagian orang dalam kenyataannya tidak mampu di hayati sepenuhnya. Banyak orang yang mengklaim diri sebagai penganut aswaja, mempropagandakan aswaja, Bahkan mengajarkan aswaja. Namun dalam kehidupan sehari-harinya justru mengamalkan mazhab atau ideology lainnya. Kesenjangan itu dapat ditemukan Bahkan hampir disemua bidang kehidupan, baik dalam beraqidah, bermasyarakat hingga berbangsa dan bernegara. Banyak orang yang Bahkan hafal teori dan prinsip  ahlusunnah wal jamaah, namun ketika dihadapkan pada dua persoalan yang menarik mereka pada keberpihakan antara kutub-kutub ekstream, mereka biasanya tidak mampu memposisikan diri sebagaimana prinnsip aswaja yang mereka hafalkan. Banyak yang mengklai diri aswaja, namun hidup pasif dan tidak bersemangat layaknya Murjiah. Banyakpula yang mempropagandakan diri sebagai aswaja, namun liar dalam berfikir seperti Muktazilah. Atau mereka yang jusrtru terjebak dalam ekstremisme-radikal, mengagunkan simbolisme dan bersemangat dengan ideology takfiri layaknya khawarij, namun tetap mengklaim diri sebagai aswaja, dan banyak model-model penganut lainnya.
Lebih jauh dari itu, bagi DDI dan IMDI, Aswaja bukan hanya sebatas kompilasi mazhab, atau manhaj, namun ia merupakan Aqidah yang menjadi dasar amal dan ibadah seluruh warga DDI. Ini berarti, setiap kader DDI dituntut menerapkan aswaja seutuhnya Aswaja sebagai jalan hidup semua  kader. Luasnya cakupan Aswaja dalam bentuk Aqidah organisasi inilah yang melatarbelakangi perlunya di buatkan format Aswaja yang dapat secara implikatif di gunakan dan di terapkan dalam jenjang kaderisasi IMDi.
Selain itu, dengan adanya metodologi tersebut, kaderisasi IMDI khususnya dalam bidang pemahaman dan pengamalan aswaja ini akan dapat diukur secara objektif dan terarah. Serta menjadi corak tersendiri yang akan menjadi identitas identik kader-kader IMDI ditengah masyarakat.
Aswaja Aqhlaqi IMDI sendiri bukanlah konsep yang baru, gagasan ia lahir dari perenungan mendalam dan pencarian dari saripati-saripati Aswaja yang selama ini di imami oleh berbagai golongan dan aliran yang memegang teguh aswaja baigk sebagai mazhab, manhaj maupun aqidah. Selain itu, penyelaman atas tradisi spiritualitas dan admosfer intelektual kalangan warga DDI juga menjadi penentu penting dari perumusan poin-poin aswaja akhlaqi.
Poin-poin Aswaja Aqhlaqi IMDI yang menjadi metodologi kaderisasi itu adalah: Takhalli, Tahalli dan Tajalli. Konsep ini di ambil dari rumusan “Hujatul Islam” Al Gazali (1111) yang juga merupakan kiblat imam Aswaja dalam bidang tasauf.
Poin-poin Aswaja akhlaqi ini, selain cocok dengan corak tasauf dan gerakan spiritual yang selama ini menjadi jalan jihad IMDI-DDI, juga sangat tepat diaktualisasikan sebagai metode kaderisasi, karna berbentuk metodologis yang berisi stape by stape atau langkah demi langkah dalam menempuh jalan menuju kesempurnaan keperibadian mursyid.
Dengan metodologi dan model Aswaja kaderisasi seperti ini, diharapkan kader-kader IMDI nantinya tidak hanya mampu menghafal konsep Aswaja secara teoritis, namun lebih jauh dari itu, mampu memahami dan mengamalkan Aswaja dalam kehidupan sehari-harinya, sebagai Aqidah dan jalan hidup Mursyid(ah) pengabdi, sebagaimana yang diharapkan oleh para Anregurutta.     

MARS IMDI

MARS IKATAN MAHASISWA DDI

IKATAN MAHASISWA DDI
SINGSINGKAN LENGAN BAJUMU
MARI KITA BERJIHAD FII SABILILLAH
DENGAN PENCARAN SINAR ILAHI
            MATAHARI BULAN DAN BINTANG
            MENERANGI MEDAN JIHADMU
TUMPAS PENINDASAN LAHIR DAN BATIN
PRANGI KEBODOHAN KEMISKINAN
BELAJAR KERAS KERJA KERAS
MEMBANGUN BANGSA DAN AGAMA
INGAT KWAJIBAN TUGAS SUCIMU
MAJULAH TERUS IMDI


Kembali ke awal

LOGO IMDI


Tafsir Lambang IMDI

Tafsir Lambang IMDI
            Lambang IMDI memiliki bentuk dasar persegi empat dengan warna dasar hijau tua. Dan unsur-unsur komponen lambang  yang terdiri atas:
1.      Bingkai dasar segi empat
2.      Pancaran sinar Matahari terbit dan kalimat Kalimat Laa ilaha illa lah.
3.      Bulan sabit dan huruf latin IKATAN MAHASISWA DDI
4.      Kalimat : Lahuu Da’watul Haq
5.      Kalimat arab : Darud Da’wah Wal-Irsyad
6.      Kalimat singkatan: IMDI
7.      Lima bintang.
Pola dasar dan komponen lambang tersebut mempunyai arti dan makna sebagai berikut:
1.      Bentuk Dasar Persegi-Empat
            Seluruh symbol dan lambang IMDI diletakkan di atas dasar yang berbentuk “segi empat”. Segi empat dalam hal ini bermakna: “Keseimbangan, Keserasian, Kesamaan, Kesetaraan, Keteraruran, Kesemestaan, dst”.
Hadits nabi Selain itu, secara historis-cultural, makna persegi empat juga mewakili falsafah “sulapa eppa” dalam teradisi kebudayaan bugis yang juga merupakan dasar geneti-kultural dari lahinya DDI.
            Falsafah “Sulapa eppa” mewakili dasar pembentukan dari seluruh huruf lontra yang dilambgankan dengan huruf “sa” (“◊”). Dengan demikian, “sulapa-eppa” adalah merupakan dasar/basic dan asal mula dari seluruh pencapaian kebudayaan dan peradaban manusia Bugis sejak dahulu hingga kini. Selanjutnya, falsafah “Sulapa eppa” juga mewakili empat kualitas kepemimpinan (sikap) yang saling melengkapi (check and balances) dalam teradisi masyarakat Bugis yang juga merupakan karakter identik mursyid-mursyidah IMDI yaitu: “to panrita (kesolehan), to warani (keberanian), tau acca (kecerdasan),  tau sugi (kekayaan)”.  Empat karakter mursyid-mursyidah inilah yang harus dicapai dari seluruh rangkaian proses kaderisasi IMDI di semua level kekaderan.
            Selain itu, Makna segi empat juga melambangkan Nilai Dasar Pengabdian (NDP) IMDI yaitu: Syareat, Tharikat, Hakikat Dan Makrifat. Empat Poin NDP ini merupakan pegangan dan “kalimatun sawa” dari seluruh proses ber-IMDI. NDP IMDI  adalah ibarat proses utuh dari kehidupan manusia, yang dalam pembahasannya di ibaratkan sebagai daur hidup sebatang pohon yang akarnya menghujam kuat ke jantung tauhid bumi, dari akar yang kuat ini kemudian tumbuh batang yang kokoh dan menjadi sandaran dan pegangan bagi siapapun yang membutuhkannya. Ranting dan daunnya lebat dan memberi naungan yang menyejukkan bagi manusia, (menjadi Rahmatan Lil Alamin), dan buah Akhlaqnya menjadi karunia yang besar dari Allah sebagai rezki yang menyenangkan. NDP IMDI adalah perpaduan utuh dari proses pengabdian yang oleh Anregurutta di istilahkan dengan “pengabdian zahir dan pengabdian batin”, dari seluruh mursyid dan musryidah IMDI. Selanjutnya, dalam haditsnya Nabi menerangkan keistimewaan urusan empat ini dalam hadits :
 خَيْرُ الْأَصْحَابِ أَرْبَعَةٌ وَخَيْرُ الْجُيُوشِ أَرْبَعَةُ آلَافٍ وَخَيْرُ السَّرَايَا أَرْبَعُ مِائَةٍ وَمَا بَلَغَ اثْنَا عَشَرَ أَلْفًا فَصَبَرُوا وَصَدَقُوا فَغُلِبُوا مِنْ قِلَّةٍ
Artinya : "Sebaik-baik sahabat adalah empat orang, dan sebaik-baik pasukan adalah empat ribu, dan sebaik-baik satuan pasukan adalah empat ratus dan tidaklah mereka mencapai dua belas ribu, lalu bersabar dan jujur maka mereka tidak akan terkalahkan." (Hadits Darimi Nomor 2331)
            Sebagai catatan tambahan, bentuk dasar bulat juga sering digunakan oleh kader-kader IMDI. Dasar bulat pada lambang IMDI secara administrative telah disepakati hanya sebagai atribut tambahan untuk pembuatan pin atau keperluan yang sejenisnya, serta lebih bertujuan agar logo IMDI dapat di aplikasikan di semua latar atau modifikasi sehingga menjadikannya sweetest. Namun demikian, bentuk bulat pada dasarnya, juga secara filosofis mengartikan makna yang sama dengan makna Persegi Empat, yaitu Kesempurnaan, Proses yang tiada henti, Keseimbangan, Keserasian, Kesamaan, Kesetaraan, Keteraruran, Kesemestaan, dst”. Sehingga tidak mengurangi arti dan pemaknaan pada penggunaanya.

2.      Warna Dasar Hijau Tua
            Warna Hijau tua secara umum melambangkan “Kesuburan, Kehidupan, Kebaruan, Bumi, Keyakinan Yang Kuat, Kebulatan Tekad, Corak/Pradigma Baru, Penghayatan Yang Dalam serta Kehidupan yang Dinamis”. Selain itu, hijau tua juga melambangkan ajaran Islam Ahlusunnah  Wal-Jamaah yang menjadi pedoman warga DDI. Ia adalah suatu pedoman yang mencakup aqidah, ibadah/syariah dan muamalah serta jalan hidup (way of life) dalam mencapai kebahagiaan dunia dan akhirat serta dalam upaya menggapai Mardhatillah. Sebagaimana firman Allah dalam (QS. Al –a’raf : 96).
وَلَوْ أَنَّ أَهْلَ الْقُرَىٰ آمَنُوا وَاتَّقَوْا لَفَتَحْنَا عَلَيْهِمْ بَرَكَاتٍ مِنَ السَّمَاءِ وَالْأَرْضِ وَلَٰكِنْ كَذَّبُوا فَأَخَذْنَاهُمْ بِمَا كَانُوا يَكْسِبُونَ
Artinya: Jikalau sekiranya penduduk negeri-negeri beriman dan bertakwa, pastilah Kami akan melimpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi, tetapi mereka mendustakan (ayat-ayat Kami) itu, maka Kami siksa mereka disebabkan perbuatannya.
3.      Matahari terbit dengan warna kuning emas dengan jumlah sinar 25 berkas diatas lintasan pelangi putih berisi kalimat  tauhid “Laa Ilaha Illa Allah”
            Simbol ini melambangkan matahari sebagai sumber cahaya, dan cahaya adalah sebagai sumber ilmu pengetahuan dari Allah SWT, yang diturunkan kepada hambanya dengan perantaraan para Rosul-nya yang menuntun manusia kepada jalan Tauhid. Dalam kaitannya dengan DDI, diharapkan agar menjembatani turunnya ilham dari Allah SWT, dan munculnya cahaya ilmu pengetahuan. Firman Allah dalam Al-Qur’an surah (Yunus ayat: 5)
  هُوَ الَّذِي جَعَلَ الشَّمْسَ ضِيَاءً
Artinya: Dialah yang menjadikan matahari bersinar
            Warna kuning keemasan secara umum diartikan sebagai lambang dari “Kejayaan, Kemulyaan, Kekayaan, Keutamaan, integrity, honesty, Nur Kemuliaan Ilahi dst. Bagi IMDI, syimbol ini berarti sikap istiqamah dan usaha terus-menerus (berkesinambungan) untuk kebaikan, terutama demi kebaikan tertinggi – yaitu Tuhan itu sendiri.
            Selanjutnya 25 berkas sinar matahari terbit dengan warna kuning emas tadi melambangkan 25 nabi dan rosul yang di sebutkan dalam kitab suci Al-Qur’an. mereka di utus untuk menghapus kebodohan, memerangi kedzoliman dan kemunkaran, serta membebaskan kaum yang lemah dari penindasan. Para Nabi dan Rasul tersebut membawa misi pencerahan, menegakkan Kalimatut Tauhid, dan mengganti kegelapan dengan cahaya yang terang-benderang, secerah mentari terbit di pagi hari, yang menghapus gelapnya malam. Sebagaimana firman allah dalam al-qur’an surah Al-Baqarah [02]:136:
قُولُوا آمَنَّا بِاللَّهِ وَمَا أُنْزِلَ إِلَيْنَا وَمَا أُنْزِلَ إِلَىٰ إِبْرَاهِيمَ وَإِسْمَاعِيلَ وَإِسْحَاقَ وَيَعْقُوبَ وَالْأَسْبَاطِ وَمَا أُوتِيَ مُوسَىٰ وَعِيسَىٰ وَمَا أُوتِيَ النَّبِيُّونَ مِنْ رَبِّهِمْ لَا نُفَرِّقُ بَيْنَ أَحَدٍ مِنْهُمْ وَنَحْنُ لَهُ مُسْلِمُونَ
Artinya: Katakanlah (hai orang-orang yang mukmin); “kami beriman kepada Allah dan apa yang diturunkan kepada kami, dan apa yang diturunkan kepada Ibrahim,  Ismaíl, Ishaq, Ya’kub dan anak cucunya, dan apa yang diberikan kepada Musa dan Isa serta apa yang diberikan kepada nabi-nabi dari tuhannya. Kami tidak membeda-bedakan seorangpun diantara mereka dan kami  hanya tunduk dan patuh kepada-Nya”.
            Selanjutnya, 5 berkas sinar mentari yang lebih tinggi melambangkan 5 rasul  utama atau yang biasa dikenal dengan Rasul Ulul Azmi sebagaimana firman Allah, yang menjelaskan bahwa Allah melebihkan sebagian rasul dibandingkan rasul yang lainnya. Allah Ta’ala berfirman dalam Al-Qur’an surah Al Baqarah [02]:253)
. ۞ تِلْكَ الرُّسُلُ فَضَّلْنَا بَعْضَهُمْ عَلَىٰ بَعْضٍ ۘ مِنْهُمْ مَنْ كَلَّمَ اللَّهُ ۖ وَرَفَعَ بَعْضَهُمْ دَرَجَاتٍ ۚ
Artinya:“Rasul-rasul itu Kami lebihkan sebagian (dari) mereka atas sebagian yang lain. Di antara mereka ada yang Allah berkata-kata (langsung dengan dia) dan sebagiannya Allah meninggikannya beberapa derajat. …”    
            Pemberian keutamaan sebgaian rasul dibandingkan yang lain disebabkan perbedaan tingkat keteguhan hati dan kesabaran mereka dalam menghadapi cobaan. Allah Ta’ala berfirman dalam Al-Qur’an surah Al Ahqaf [46]:35
.فَاصْبِرْ كَمَا صَبَرَ أُولُو الْعَزْمِ مِنَ الرُّسُلِ
Artinya:“Maka bersabarlah kamu seperti orang-orang yang mempunyai keteguhan hati dari rasul-rasul …”
            Selain itu, 25 berkas sinar ini memancaran dari lintasan pelangi putih  berisi kalimat  tauhid “Laa Ilaha Illa Allah”.  
            Kalimatut tauhid “Laa Ilaha Illa Allah” melambangkan dasar Ikatan (Aqidah) IMDI dalam menjalankan seluruh proses kaderisasinya dilandasi pada kemurnian tauhid yang hanif, tegak lurus seperti firman Allah dalam Al-Qur’an surah Yunus [10]:105:
وَأَنْ أَقِمْ وَجْهَكَ لِلدِّينِ حَنِيفًا وَلَا تَكُونَنَّ مِنَ الْمُشْرِكِينَ
 Artinya: Dan hadapkanlah wajahmu pada agama (hanif) dengan tulus dan ikhlas, dan janganlah kamu termasuk  orang yang musyrik.
            Meiyakini dengan sepenuhnya bahwa tiada pencipta, tiada penguasa dan tiada yang patut disembah selain Allah Adzza wajallah. Sebagaimana Firman Allah dalam Al-Qur’an surah Al-A’raaf [7] 158:
قُلْ يَا أَيُّهَا النَّاسُ إِنِّي رَسُولُ اللَّهِ إِلَيْكُمْ جَمِيعًا الَّذِي لَهُ مُلْكُ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ ۖ لَا إِلَٰهَ إِلَّا هُوَ يُحْيِي وَيُمِيتُ ۖ فَآمِنُوا بِاللَّهِ وَرَسُولِهِ
Artinya : Katakanlah ;”Hai manusia sesungguhnya aku adalah utusan Allah kepada kamu semua, yaitu Allah yang mempunyai kerajaan langit dan bumi; tiada Tuhan (yang berhak disembah) selain dia, yang menghidupkan dan mematikan, maka berimanlah kamu kepada Allah dan Rasul-nya, …….
Surat Al-Baqarah Ayat 255
اللَّهُ لَا إِلَٰهَ إِلَّا هُوَ الْحَيُّ الْقَيُّومُ ۚ لَا تَأْخُذُهُ سِنَةٌ وَلَا نَوْمٌ ۚ لَهُ مَا فِي السَّمَاوَاتِ وَمَا فِي الْأَرْضِ ۗ مَنْ ذَا الَّذِي يَشْفَعُ عِنْدَهُ إِلَّا بِإِذْنِهِ ۚ يَعْلَمُ مَا بَيْنَ أَيْدِيهِمْ وَمَا خَلْفَهُمْ ۖ وَلَا يُحِيطُونَ بِشَيْءٍ مِنْ عِلْمِهِ إِلَّا بِمَا شَاءَ ۚ وَسِعَ كُرْسِيُّهُ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضَ ۖ وَلَا يَئُودُهُ حِفْظُهُمَا ۚ وَهُوَ الْعَلِيُّ الْعَظِيمُ
Artinya:  Allah, tidak ada Tuhan (yang berhak disembah) melainkan Dia Yang Hidup kekal lagi terus menerus mengurus (makhluk-Nya); tidak mengantuk dan tidak tidur. Kepunyaan-Nya apa yang di langit dan di bumi. Tiada yang dapat memberi syafa'at di sisi Allah tanpa izin-Nya? Allah mengetahui apa-apa yang di hadapan mereka dan di belakang mereka, dan mereka tidak mengetahui apa-apa dari ilmu Allah melainkan apa yang dikehendaki-Nya. Kursi Allah meliputi langit dan bumi. Dan Allah tidak merasa berat memelihara keduanya, dan Allah Maha Tinggi lagi Maha Besar.
Dalam hadits nabi menjelaskan tentang pokok-pokok keimanan: H.R. Muslim 8:“Kamu beriman kepada Allah, malaikat-malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, para Rasul-Nya, hari akhir, dan takdir baik dan buruk.”
             Selanjutnya, pelangi melengkung berwarna putih: melambangkan pluralisme, multi-kulturalisme dan sikap toleransi yang putih, suci, dan murni, yang di insafi oleh seluruh kader IMDI sebagai fitrah penciptaan dari seluruh makhluk hidup dimuka Bumi yang bersifat keilahian dengan kalimatut tauhid: Laa Ilaha Illaal lah.  Firman Allah dalam Al-Qur’an surah Al-Hujurat [49] 13: Surat Al-Hujurat Ayat 13
يَا أَيُّهَا النَّاسُ إِنَّا خَلَقْنَاكُمْ مِنْ ذَكَرٍ وَأُنْثَىٰ وَجَعَلْنَاكُمْ شُعُوبًا وَقَبَائِلَ لِتَعَارَفُوا ۚ إِنَّ أَكْرَمَكُمْ عِنْدَ اللَّهِ أَتْقَاكُمْ ۚ إِنَّ اللَّهَ عَلِيمٌ خَبِيرٌ
Artinya : “Wahai sekalian manusia ! Sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal- mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia di sisi Allah diantara kamu adalah orang-orang yang paling bertawqa di antara kamu. Sesunguhnya Allah Maha Mengatahui dan Maha Mengenal"
            Mengingkari pluralism dan multikulturalisme yang telah menjadi fakta kesejarahan dan realitas social dalam peradaban manusia, dan memaksakan kehendak pada penyeragaman, sama halnya dengan mengingkari ketauhidan dan kemaha kuasaan tuhan yang telah menciptakan perbedaan sebagai fitrah kemanusiaan. Sebagaimana firman Allah ;
Al-Quran surah Yunus [10]; 99:
وَلَوْ شَاءَ رَبُّكَ لَآمَنَ مَنْ فِي الْأَرْضِ كُلُّهُمْ جَمِيعًا ۚ أَفَأَنْتَ تُكْرِهُ النَّاسَ حَتَّىٰ يَكُونُوا مُؤْمِنِينَ
Artinya: Dan jikalau tuhanmu menghendaki, tentulah beriman semua orang  yang dimuka bumi seluruhnya. Maka  apakah kamu (hendak) memaksa manusia supaya mereka menjadi orang-orang yang beriman semuanya?.
Al-Quran surah Al kahf [18]; 29:
وَقُلِ الْحَقُّ مِنْ رَبِّكُمْ ۖ فَمَنْ شَاءَ فَلْيُؤْمِنْ وَمَنْ شَاءَ فَلْيَكْفُرْ
Artinya: Dan katakanlah, “Kebenaran itu datangnya dari tuhanmu, barang siapa yang ingin (beriman), hendaklah ia beriman, dan barangsiapa yang (ingin) kafir biarlah ia kafir”……
Al-Quran surah Al kafirun [100]; 1-6 Surat Al-Kafirun Ayat 6
لَكُمْ دِينُكُمْ وَلِيَ دِينِ:
Artinya: “Untukmu agamamu, dan untukkulah, agamaku”.
4.      Bulan sabit warna putih dan huruf latin IKATAN MAHASISWA DDI menenga-dah ke atas, melambangkan bahwa IMDI senantiasa berjalan diatas garis dan ketentuan wahyu Allah SWT. Kelahiran IMDI sesungguhnya memulai datangnya abad dan peradaban dunia yang terang dan membawa kebenaran, sehingga lenyaplah masa kegelapan yang akan terjadi secara tertib sebagaimana peralihan sinar matahari di siang hari di siang hari kepada sinar bulan dimalam hari.  Sebuah estafet kehidupan menuju mardhatillah firman Allah dalam Al-Qur’an surah Yunus ayat 5:
: وَالْقَمَرَ نُورًا وَقَدَّرَهُ مَنَازِلَ لِتَعْلَمُوا عَدَدَ السِّنِينَ وَالْحِسَابَ
 Artinya: …“dan bulan bercahaya serta ditetapkannya manzilah (tempat-tempat) beredarnya dulan itu supaya kamu mengetahui bilangan tahun dan perhitungan waktu”.
            Bulan sabit melengkung juga melambangkan “perahu” sebagai lambang teradisi kejayaan masyarakat Bugis yang dikenal sejak zaman dahulu sebagai pelaut pemberani dengan tekad kuat dan pantang menyerah, “sekali layar berkembang pantang untuk surut kembali” yang mengantarkan mereka di kenal di 7 samudra dunia.  Mengenai bahtera ini, Allah menjelaskan dalan Al-Qur’an surah Yasiin [36] 41.
وَآيَةٌ لَهُمْ أَنَّا حَمَلْنَا ذُرِّيَّتَهُمْ فِي الْفُلْكِ الْمَشْحُونِ
 Artinya: “Dan suatu tanda (kebesaran Allah yang besar) bagi  mereka adalah bahwa kami angkut keturunan mereka  dalam  bahtera yang penuh muatan”.
Al-Quran surah Asy Syuura [42]:32.
وَمِنْ آيَاتِهِ الْجَوَارِ فِي الْبَحْرِ كَالْأَعْلَامِ
Artinya: “Dan diantara tanda-tanda kekuasaanNya ialah kapal-kapal ditengah laut (yang berlayar) seperti gunung-gunung.”

            Huruf latin IKATAN MAHASISWA DDI melambangkan visi pembangunan Kebangsaan dan Keindonesiaan IMDI, Cinta Tanah Air dan rasa Nasionalisme yang kuat.
            Dua mata tombak runcing yang mengapit tulisan latin IKATAN MAHASISWA DDI bermaknakan dua kalimat  syahadat yang selalu mengapit ilmu amal  dan akhlak mahasiswa pengabdi. Selain itu, dua mata tombak ini juga biasa dimaknai sebagai  Taqwa dan Tawakkal. Dua simbolitas dialektika kehidupan. Sebuah jalan hudup untuk “menjadi” (being) yang tiada henti. Karna setelah berikhtiar, maka bertawakkallah, dan setelah berusaha, maka berpasra-lah pada ketentuan qadha dan qadhar Ilahi.
            Warna hitam pada tulisan dan dua mata tombak, secara umum dipahami melambangkan kebijaksanaan, kedalaman ilmu, konsistensi, keadilan. dst.
           
5.      Kalimat : Lahuu Dakwatul Haq : kalimat ini meletakkan fungsi dan hakikat kehadiran IMDI/DDI ditengah-tengah masyarakat, berusaha mendalami ajaran Islam dan ilmu pengetahuan dalam berbagai disiplinnya dengan tujuan menyebar luaskannya dan mengajak manusia ke jalan yang diridhai Allah SWT. Firman Allah dalam Al-Qur’an surah Al-Imran ayat 104: Surat Ali 'Imran Ayat 104
وَلْتَكُنْ مِنْكُمْ أُمَّةٌ يَدْعُونَ إِلَى الْخَيْرِ وَيَأْمُرُونَ بِالْمَعْرُوفِ وَيَنْهَوْنَ عَنِ الْمُنْكَرِ ۚ وَأُولَٰئِكَ هُمُ الْمُفْلِحُونَ
Artinya : ”Dan hendaklan ada diantara kalian segolongan umat yang menyeru kepada kebajikan, menyeru kepasa amar makruf  dan mencegah dari yang munkar, mereka itulah orang-orang yang beruntung”.
            Selain itu,symbol ini melambangkan metode dakwah IMDI yang menyerukan kebenaran, namun tetap dilandasi pada ajaran Ahlu Sunnah Wal- Jamaah yang ramah dan  menjadi Rahmatan lil alamin. Sebagaimana firman Allah dalam Al-Qur‘an surah An-Nahl [16]:125:
ادْعُ إِلَىٰ سَبِيلِ رَبِّكَ بِالْحِكْمَةِ وَالْمَوْعِظَةِ الْحَسَنَةِ ۖ وَجَادِلْهُمْ بِالَّتِي هِيَ أَحْسَنُ ۚ إِنَّ رَبَّكَ هُوَ أَعْلَمُ بِمَنْ ضَلَّ عَنْ سَبِيلِهِ ۖ وَهُوَ أَعْلَمُ بِالْمُهْتَدِينَ
Artinya: “Serulah manusia kejalan Tuhanmu dengan hikmah (bijaksana) dan pelajaran yang baik dan bantahlah mereka  dengan cara yang baik (etis).”
Al-Qur’an surah Al-Imran [3]:159:

فَبِمَا رَحْمَةٍ مِنَ اللَّهِ لِنْتَ لَهُمْ ۖ وَلَوْ كُنْتَ فَظًّا غَلِيظَ الْقَلْبِ لَانْفَضُّوا مِنْ حَوْلِكَ ۖ
Artinya: Hanya karna rahmat allah kamu berlaku lemah lembut terhadap mereka, sekiranya kamu bersikap keras lagi berhati keras, niscaya mereka akan meninggalkanmu…..    
6.      Kalimat Arab : Darud Da’wah Wal Irsyad.
            Kalimat ini adalah simbol pandangan IMDI-DDI bahwa untuk penguasaan ilmu pengetahuan agama Islam, mutlak adanya penguasaan terhadap bahasa asing, terutama bahasa Arab dan alat-alatnya. Firman Allah  Dalam Al-Qur’an surah al-syura ayat 193-195:
نَزَلَ بِهِ الرُّوحُ الْأَمِينُ
Artinya: Al-Qur’an dibawa turun oleh Ar-ruh Al-amin (Jibril)
عَلَىٰ قَلْبِكَ لِتَكُونَ مِنَ الْمُنْذِرِينَ
            :Kedalam hatimu (Muhammad) agar kamu menjadi salah seorag diantara orang-orang yang memberi peringatan
بِلِسَانٍ عَرَبِيٍّ مُبِينٍ
            :Dengan bahasa Arab yang nyata”.

Dalam Al-Qur‘an Surat Yusuf Ayat: 2
إِنَّا أَنْزَلْنَاهُ قُرْآنًا عَرَبِيًّا لَعَلَّكُمْ تَعْقِلُونَ
            :Sesungguhnya Kami menurunkannya berupa Al Quran dengan berbahasa Arab, agar kamu memahaminya.
            Pengetahuan dan skill dalam bahasa asing adalah program yang sangat di utamakan dalam kaderisasi IMDI. Hal ini tentu saja dikarnakan ilmu pengetahuan dan kemajuan teknologi yang berkembang saat ini, dimaklumi untuk sementara ini semuanya menggunakan bahasa asing. Maka pengembangan ilmu dan teknologi mutlak harus dikuasai oleh kader-kader IMDI, karna pengembangan ilmu penngetahuan dan teknologi harus dikawal dengan moral-spiritual dan keperibadian yang kuat sebagai tanggung jawab IMDI terhadap kemanusiaan.
7.      Kalimat singkatan: IMDI
            Singkatan IMDI dengan Later Latin / tulisan Indonesia melambangkan identitas khas bahwa IMDI sebagai organisasi kemahasiswaan, keislaman dan kemasyarakatan, adalah termasuk bagian dari rakyat Indonesia, patuh dan tunduk terhadap ideology Pancasila, serta aturan hukum yang berlaku di Negara Kesatuan Republik Indonesia.
            Bergerak dalam wilayah rekrutmen dan kaderisasi yang menyiapkan kader pengabdi yang memperjuangkan Trilogi DDI dan turut serta menjaga keutuhan NKRI. Firman Allah dalam Al-Qurán surah Al-Imran ayat [003]: 103: وَاعْتَصِمُوا بِحَبْلِ اللَّهِ جَمِيعًا وَلَا تَفَرَّقُوا
Artinya: Dan Berpegang Teguhlah Kalian Kepada Tali (Agama) Allah, Dan Janganlah Kamu Bercerai Berai…”.  
8.      Lima bintang warna kuning emas.
            Bintang emas sebanyak lima buah terletak di ufuk sinar cahaya mentari terbit, memberi arti bahwa IMDI senantiasa melaksanakan lima rukun Islam dan taat melaksanakan kewajiban shalat (lima waktu) dalam sehari semalam. Lima bintang emas ini juga menyimbolkan falsafah Lima Sila Pancasila, sebagai salah satu elemen dari Warga Negara Republik Indonesia. Firman Allah dalam Al-Qurán surah An-Nahal ayat 16 :
وَعَلَامَاتٍ ۚ وَبِالنَّجْمِ هُمْ يَهْتَدُونَ
Artinya “Dan Dia (ciptakan) tanda-tanda (petunjuk) jalan dan dengan bintang-bintang itulah mereka mendapatkan petunjuk”.  
Al-Quran surah Yunus [10]:5,
هُوَ الَّذِي جَعَلَ الشَّمْسَ ضِيَاءً وَالْقَمَرَ نُورًا وَقَدَّرَهُ مَنَازِلَ لِتَعْلَمُوا عَدَدَ السِّنِينَ وَالْحِسَابَ ۚ مَا خَلَقَ اللَّهُ ذَٰلِكَ إِلَّا بِالْحَقِّ ۚ يُفَصِّلُ الْآيَاتِ لِقَوْمٍ يَعْلَمُونَ
Artinya : Dialah yang menjadikan matahari bersinar dan bulan bercahaya dan ditetapkannya manzilah-manzilah (tempat-tempat) bagi perjalanan bulan itu, supaya kamu mengetahui bilangn tahun dan perhitungan (waktu). Dan allah menciptakan yang demikian itu haq. Dia menjelaskan tanda-danda (kebesarannya) kepada orang-orang yang mengetahui
Ayat 6:
إِنَّ فِي اخْتِلَافِ اللَّيْلِ وَالنَّهَارِ وَمَا خَلَقَ اللَّهُ فِي السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ لَآيَاتٍ لِقَوْمٍ يَتَّقُونَ
Artinya; Sesungghunya pertukaran malam dan siang itu dan pada apa yang diciptakan allah di langit dan di bumi benar-benar terdapat tanda-tanda 9kekuasaan-nya) bagi orang-orang yang bertaqwa.
            Dan akhirnya, Sebagai catatan tambahan, perlu untuk di pahami bahwa lambang IMDI adalah perpaduan seimbang antara dua symbol utama, yaitu matahari dan bulan yang sama besar dan proporsional.
            Kedua symbol ini juga pada hakikatnya mewakili dua entitas yang tak mampu dipisahkan, yaitu matahari yang mewakili siang, dan bulan yang mewakili malam. Meski nampaknya berlawanan, namun pada hakikatnya keduanya seperti dua sisi kertas yang tidak mampu di pisahkan. Siklus pergantian yang teratur antara keduanya yang mendasari seluruh siklus musim serta daur kehidupan semua makhluk yang ada di bumi.
            Oleh karna itu, dua paduan symbol proporsional dan seimbang  ini merupakan paduan yang sempurna yang akan menjadi modal dan model ideal dalam membesarkan IMDI. Paduan itu akan tercermin dalam kesemprunaan pribadi seluruh insan pengabdi yang di gelari Mursyid. Sosok insan ideal, yang mampu senantiasa menghadir dalam keseimbangan antara kerja-kerja duniawi dan ukhrowi, antara  ibadah lahir dan ibadah batin, materi dan misteri, eksoteris dan esoteric, jiwa dan raga, dst. Sebagaimana ungkapan :
اعمل لدنياك كأنك تعيش أبداً ، واعمل لآخرتك كأنك تموت غداً
Artinya: “Kerjakanlah duniamu seakan-akan engkau akan hidup selamanya, dan kerjakanlah akhiratmu, seakan-akan engkau akan mati esok”
 Dan firman Allah dalam Al-Qur’an surah Al-Qasas:77:
وَابْتَغِ فِيمَا آتَاكَ اللَّهُ الدَّارَ الْآخِرَةَ ۖ وَلَا تَنْسَ نَصِيبَكَ مِنَ الدُّنْيَا ۖ وَأَحْسِنْ كَمَا أَحْسَنَ اللَّهُ إِلَيْكَ ۖ وَلَا تَبْغِ الْفَسَادَ فِي الْأَرْضِ ۖ إِنَّ اللَّهَ لَا يُحِبُّ الْمُفْسِدِينَ

Artinya: “Dan carilah pada apa yang telah dianugerahkan Allah kepadamu (kebahagiaan) negeri akhirat, dan janganlah kamu melupakan bahagianmu dari (kenikmatan) duniawi dan berbuat baiklah (kepada orang lain) sebagaimana Allah telah berbuat baik, kepadamu, dan janganlah kamu berbuat kerusakan di (muka) bumi. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berbuat kerusakan.”