AGAMA CANDU VS KOMPLEKS FOURIER
Oleh : Nur khaliq
Ketua Umum PP IMDI
Agama dan wacana keagamaan menjadi marak
diperbincangkan oleh banyak kalangan dewasa ini. Sayangnya, wacana yang
berkembang ditengah masyarakat bukan karna prestasi agama yang gilang-gemilang dalam
memperbaiki dan menjadi alat trasnpormasi social yang mempu membawa masyarakat
kepada kesejahtraan social-spiritual seperti saat masa-masa kejayaannya ribuan
tahun lalu, tapi justru karna fenomenoligisnya yang seolah tidak lagi mampu
menjadi solusi bagi kehidupan manusia moderen yang semakin gamang.
Dalam
dunia yang semakin terbuka, Agama dan wacana keagamaan dengan dilema
multidimensi dan multitafsirnya “memaksanya” menjadi -satu kata dengan sejuta
makna-. Bahkan banyak kalangan intelektual berkesimpulan bahwa wajah agama,
sama dengan jumlah wajah manusia yang mendiami bumi. Bagi banyak orang, hal ini
bukanlah masalah besar, andai setiap orang mampu memaknainya secara bijaksana. Namun,
tidak demikian dengan fakta social. bahwa agama senyatanya menjadi salah satu
ancaman serius bagi kerjasama social yang mampu merusak kedamaian dan
mendatangkan beribu potensi bahaya bagi masyarakat. Agama dan wacana agama di tangan beberapa pengganutnya
yang ekstrieam, justru menjadi alat menghalalkan segala cara.
Wacana agama sebagai candu social pertama
kali dilontarkan oleh Karl Marx (1818-1883) dalam narasi pembongkarannya
terhadap praktek eksploitasi kaum borjuasi terhadap proletariat. Tesisnya yang
menyerang agama ini pula yang melambungkan namanya sebagai intelktual paling
keras memerangi agama. Menurutnya, praktik keagamaan yang dijalankan oleh agama
telah berselingkuh dengan borjuasi dan menjadikannya sebagai candu social. Kaum
proletariat yang lelah dan tidak berdaya dengan penidasan dan penghisapan dalam
industrial, tidak lagi menjadi manusia sebagai mana natural alamiah
kelahirannya.
Kerja
yang seharusnya menjadi esensi kehadirannya di muka bumi, justru meng-elienisasi-nya
dari kehidupan. Disisi lain, agama yang seharusnya menjadi senjata revolusi dan
tranformasi social untuk perbaikan, justru ditangan kalangan agamawan menjadi
heroin memabukkan yang menenagkan masyarakat. Sebesar apapun gejolak revolusi
yang dialami batin kaum tertindas, ketika mereka masuk ke dalam institusi
agama, maka dengan perlahan akan di hilangkan dan ditenagkan kembali. Selanjutnya
menjadikan mereka pasrah menerima nasib dunia dan menunggu masa pembalasan
akhirat yang “katanya”, “mereka yang hari ini dibelakang, dihari kemudian akan
dikedepankan, dan mereka yang hari ini didepan, saat itu akan dibelakangkan”,
atau dengan kata lain, “balasan kesabaran adalah surga, dan balasan bagi
penghisapan adalah siksa neraka”.
Institusi
agama bagi Marx adalah alat ampuh menghapuskan gejolak revolusi. Hasilnya,
tentu menguntungkan borjuasi-kapitalisme. Dengan kata lain, semakin tenang
masyarakat, semakin banyak pundi-pundi capital yang dapat ditumpuk. Meminjam
bahasa Orba, “rakyat kenyang, pemimpin tenang”.
Minimnya
gejolak dan keiniginan revolusi proletar bagi indusrialisme merupakan syarat
utama dari datangnya keuntungan capital. Selanjutnya, Keuntungan capital yang
meningkat juga berarti penghisapan dan penindasan yang meningkat bagi
proletarian.
Bagi
kapitalisme-modernism yang mensyaratkan pembagian kerja, gejolak sekecil apapun
dalam masyarakat akan merusak kerjasama social. Dengan kata lain, keamanan dan
kedamaian merupakan syarat bagi terjaganya kerjasama social; terjagannya
kerjasama social merupakan syarat keberlangsungan hidup kapitalisme, dan lestarinya
hidup kapitalisme berarti lestarinya pula penindasan terhadap kaum mustad’afin.
Dalam posisi meminimalisir gejolak di tengah masyarakat inilah para pemuka agama
dan agamawan berdiri di garda terdepan, sebagai “pahlawan-pahlawan kedamaian”,
yang oleh Marx di sebut sebagai opnum-opnum “pengedar narkotik-candu
social”.
Disisi lain, bagi kalangan intelektual
psikologi, agama hanyalah sekadar cara yang diterima secara bersama untuk
mengatasi ketegangan, kecenderungan, dan penderitaan. Psikoanalisis misalnya
melihat agama sebagai insting ketidaksadaran (the unconsciousness)
misterius yang ada dalam struktur kepribadian manusia. Dengan teori id, ego,
superego. Lebih lanjut, Wiliam James (1842-1910) berkesimpulan, bahwa kesadaran keberagamaan
sebagai hal yang sangat subyektif. Baginya, kebenaran harus ditemukan, bukan
melalui argumen logis, akan tetapi melalui pengamatan atas data pengalaman. Posisi agama yang secara psikologis sangat
subjective inilah yang sering terjebak dalam gejala psikologis akut yang
mengantarkan penganutnya pada egocentrisme dan keinginan benar dan mengang
sendiri.
Selanjutnya, agama dengan dorongan kuat
transformasi social dan potensi revolusinya sayangnya seringkali terpenjara
dalam tubuh-tubuh manusia pengidap penyakit mental, yang biasanya siap
mengorbankan kebenaran logis di atas kebenaran egoisme patologisnya. Patologi
social ini oleh kalangan psikolog di sebut dengan istilah kompleks Fourier,
mengambil nama sosialis Perancis. Sebuah kondisi sikap mental patologis—dari
kebencian dan kondisi neurasthenia (istilah psiko-patologis yang pertama kali
digunakan oleh George Miller Beard pada 1869 untuk menjelaskan kondisi yang
ditandai oleh kelelahan, kecemasan, sakit kepala, neuralgia [sakit saraf] dan
depresi).
Penyakit mental ini berkaitan dengan rasa tidak
suka dan kedengkian yang besar disebabkan iri hati, tidak banyak yang perlu
dikatakan. Rasa tidak suka merajalela saat seseorang memiliki kebencian yang
luar biasa terhadap orang/lembaga yang berada dalam kondisi yang jauh lebih
menguntungkan sehingga ia siap menanggung kerugian hanya sekedar untuk
meruntuhkannya.
Menangani kasus-kasus psikologis lain mungkin
relatif lebih mudah ketimbang menangani kasus Kompleks
Fourier. Hal ini dikarnakan penyakit ini melibatkan kerusakan serius pada
sistem syaraf, atau neurosis, yang lebih memerlukan perhatian seorang psikolog
daripada dialog rasional-ilmiah antar mazhab atau lintas aliran mengunakan
nalar.
Penyakit mental akut yang diidap secara individual
ini kemudian menjadi lebih kompleks ketika diidap secara berjamaah dalam
kelompok tertentu dan seringkali di tambah dengan embel-embel Ikatan Teologis;
Ikatan komunitas yang kuat serta politik identitas ekslusiave dengan
mendefenisikan keperibadian (the our) yang berbeda dan berlawanan dengan
yang lain (the other) mendorong agama menemukan jalan-jalan revolusi destruktif
dengan perang, penghancuran, pentungan, caci dan makian namun anehnya tetap
dengan teriakan kalimat-kalimat mengagungkan kebesaran Tuhan dan tetap di kelaim
sebagai jalan kebenaran yang terbaik dan harus di tempuh oleh ummat. Seolah
Tuhan yang maha kasih bersmanya dalam kebiadaban.
Akhirnya dan sebagai kesimpulan, nampaknya realitas
keberagamaan kita yang serba penuh dengan warna dan warni dan cendrung
terpolarisasi pada dua fenomena diatas, harus terus mendapatkan pengawalan
dalam kerja-kerja pendidikan, dakwah dan social service yang lebih serius dan sistematis,
agar nantinya lahir generasi manusia yang lebih arif dan bijaksanya (Sophia)
dalam menyikapi dilema agama dalam struktur kehidupan social era
postmodernisme.
Dengan penuh harap bahwa dimasa depan, manusia-manusia
arif, nantinya membangun kebudayaan masyarakat global yang berkeadilan social, damai
dan emansipatoris, tidak lagi sebagai manusia dengan jiwa-jiwa kerdil dan picik
yang terpenjara dalam penjara tanah liat.
Minallahil mustaan wa ilayhi
tiqlan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar