Selasa, 07 November 2017

ASWAJA AKHLAQI

TAUHID/ TEOLOGI ISLAM
AQIDAH AHLUSUNNAH WAL-JAMA’AH
BAGIAN I
I.       PENDAHULUAN
Konsep tauhid yang di kembangkan dalam organisasi Darud Da’wah Wal-Irsyad (DDI) adalah aqidah Islamiyah berhaluan Ahlusunnah Wal-Jama’ah . hal ini sesuai dengan Anggaran Dasar (AD) DDI pasal 3 berbunyi: organisasi ini beraqidah Islamiyah berhaluan Ahlusunnah Wal-Jama’ah. Untuk itu, aqidah Islamiyah yang berhaluan Ahlusunnah Wal-Jama’ah merupakan sistem nilai yang dianut  oleh DDI, sehingga dalam DDI kelihatannya istilah Ahlusunnah itu merupakan istilah ideologi yang meringkas  gambaran menyeluruh tentang The Way Of Life-nya bukan sekedar istilah seperti yang di gunakan dalam ilmu kalam atau teologi Islam, tetapi menyangkut seluruh aspek kehidupannya.
Dalam bidang tauhid, sistem nilai yang dianut dan di kembangkan DDI adalah mengikuti faham Asy’ariyah. Sementara dalam fikhi sumber pengambilan hukum adalah Al-Qur’an, hadits, ijmak (konsensus para ulama) dan qiyas (analogi), berbeda dengan golongan lainnya yang tidak mengakui  keutuhan empat sumber pengambilan hukum itu yang cendrung untuk tidak menggunakan ijmak dan qiyas dengan menggantinya ijtihad, walau sangat sulit membedakan secara mendasar antara ijmak dan qiyas dengan ijtihad.
Ahlusunnah Wal-Jama’ah sebagi suatu ajaran biasanya secara singkat di sebut Ahlusunnah atau golongan Sunniy, yang merupakan golongan terbesar umat Islam di dunia di samping syi’ah. Dari segi histioris sosiologis sesunguhnya dapat dikatakan bahwa golongan Sunniy tumbuh secara defensif tidak mau bergabung dengan Syi’ah Ali dalam perebutan kekuasaan setelah Khalifah ke tiga, Usman Bin Affan wafat.
Dari segi historis teologis pertumbuhan Ahlusunnah Wal-Jama’ah muncul secara bersama—sama dengan rangkaian empat Aliran hukum Islam  yang terkenal, yaitu aliran atau mazhab Hanafi, Maliki, Syafi’i dan Hambali, yang telah terbentuk pada abad II H. Pada masa itu, fikhi (hukum) dan teologi (kalam) berada dalam satu kesatuan yang tak terpisahkan. Syariah Islam yang pada dahulunya di maksudkan mencakup keseluruhan cabang ajaran Islam. Hanya saja sekarang ini, jika disebut Syariah Islam, maka biasa dimaksudkan hanyalah masalah fikhi.
Pertentangan teologi dalam Islam mula-mula timbul setelah Ali Bin Abi Thalib sebagai Khalifah IV yang sah menerima gencatan senjata dengan penyelesaian arbitrase atas pertempurannya dengan Muawiyah (keluarga dekat Usman) yang tidak mau tunduk kepada Ali, yang berujung kekalahan di pihak Ali. Akibatnya, tentatra Ali yang tadinya setia, menolak dan membentuk barisan baru, yang nantinya dikenal dengan golongan Khawarij. Golongan Khawarij ini dikenal sangat ekstrim dalam Islam. Ia berpendapat semua orang yang tidak sepaham bengan dia adalah kafir termasuk Ali, dan mereka wajib di bunuh. Sebagai imbangan dari golongan Khawarij ini lahirlah golongan Murjiah, yang berpendapat bahwa iman tidaklah berkaitan sama sekali dengan amalan lahiriyah, sehingga seorang yang telah mengucap dua kalimat Syahadat tidak ada alasan lagi untuk mengatakannya kafir bila ia mengerjakan kemaksiatan (dosa besar)
Kemudian berbarengan dengan itu,  muncul persoalan yang sangat kontrofersial yang berkaitan dengan kehendak dan kekuasaan Tuhan, di anaranya: Apakah manusia berkebebasan atau dalam keadaan terpaksa (tidak berdaya)  berhadapan dengan takdir Tuhan?.  Dalam kaitan ini, timbul golongan Jabariyah, yang berpendapat bahwa manusia dalam keadaan sepenuhnya  tergantung kepada ketentuan (tekdir) Tuhan, manusia tidak lain hanyalah bagaikan kapas diterbangkan angin,  kemana saja angin membawanya, kesitulah dia,  tanpa memiliki sedikitpun kesanggupan untuk mengelak. Sebagai imbangan dari pendapat ini, timbul pula golongan Qadariyah, yang berpendapat bahwa manusia itu berkebebasan dalam  menentukan nasibnya tanpa campur tangan Tuhann. Dan sebagai kelanjutan dari paham Qadhariyah ini muncul golongan Muktazilah yang  di pelopori oleh tokoh utamanya Washil Bin Atha’, yang berpendapat bahwa manusia itu bebas atau mampu menentukan sendiri nasib dan jalan hidupnya serta tidak mengakui adanya sifat-sifat Tuhan. Golongan Muktazilah ini mendapat dukungan dari pemerintah (Khalifah), sehingga bebas memaksakan pendapatnya terhadap kaum muslimin.
Pada saat golongan Muktazilah itu berkuasa, dapat dikatakan bahwa praktis sunnah/hadits Nabi dan petunnjuk-petunjuk yang telah diberikan oleh para sahabat tidak lagi di fungsikan secara wajar ditengah-tengah masyarakat Islam. Sebab, mereka berprinsip bahwa sunnah/hadits yang biasa di jadikan hujjah hanyalah yang berstatus mutawatir saja, sementara sunnah/hadits yang mutawatir itu jumlahnya sangat sedikit, yang banyak adalah sunnah/hadits yang berstatus dzanny, maka terdorong oleh situasi yang demikian itu, timbullah kesadaran sekelompok ulama/cendikiawan untuk tetap melestarikan sunnah Nabi dan para sahabatnya, sekalipun sunnah itu berstatus dzanniy asalkan shahih tetap di amalkan, sehingga lahirlah golongan Ahlusunnah Wal-Jama’ah
Kristalisasi doktrin teologis Ahlusunnah ini berlangsung sekitar abad X M. atau abad III H. walaupun sebelum itu ajaran Islam Ahlusunnah sudah ada berkembang dan dianut oleh mayoritas kaum muslimin, namun kehadirannya belum terkonsentrasi dalam suatu golongan atau firqah dalam Islam, karna masih berjalan sebagaimana pada masa Rasulullah SAW dan sahabat-sahabatnya tidak ada penggolongan yang demikian, sebab memang hanya itulah satu-satunya faham yang  dianut masayarakat muslim dalam hal kehidupan aqidahnya.
Kebangkitan ulama/cendikiawan tersebut, terutama diilhami oleh hadits nabi yang berbunyi:
Sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam:
مَنْ سَنَّ سُنَّةً حَسَنَةً فَلَهُ أَجْرُهَا وَأَجْرُ مَنْ عَمِلَ بِهَا إلى يَوْمِ الْقِيَامَةِ
Siapa yang memulai untuk memberi contoh kebaikan (dalam Islam) maka ia mendapat pahala perbuatannya dan pahala orang-orang yang mengikuti (meniru) perbuatannya itu sampai hari Kiamat” (HR. Muslim)
من احیا سنہ من سنتی قدامبیتت بعد فا نہ لہ من الا جرمثل من عمل ھا من غیر ان ینقص من اجور ھم شیا ومن ابتدع بدعہ ضلالةلايرضا ها اللة ورسولة كان من الاثم اثام من عمل ها لاينقص ذلك من اوذارهم شيئا

Terjemahnya: Barangsiapa yang menghidupkan satu sunnah dari pada sunnah-sunnahku yang tercecer sedah matiku, maka sesungguhnya ia telah mendapatkan pahala sebagaimana orang yang mengamalkannya tanpa  dikurangi barang sedikitpun. Dan barangsiapa yang mendatangkan bidáh yang jelek yang tidak di ridhai oleh Allah dan rasulnya adalah baginya dosa sebagaimana dosa dari orang-orang yang menganjurkannya tidak kurang barang sedikitpun”.
Dalam hadits Rasulullah memberi gambaran akan munculnya banyak firqah/golongan di kalangan umat Islam, namun yang selamat adalah mereka yang menganut ajaran Islam Ahlusunnah Wal-Jama’ah. Di antara hadits-hadits itu adalah sabda nabi  dalam  riwayat Turmizi dari Abdullah Bin ‘Amr, berbunyi:
إِنَّ بَنِيْ إِسْرَائِيْلَ تفرَقَتْ عَلَى إِحْدَى وَسَبْعِيْ مِلَّةَ وتفرِقُ أُمَّتِيْ عَلَى ثَلاَثٍ وَسَبْعِيْنَ مِلَّةَ كُلُّهَا فِي النَّارِ إِلاَّ مِلَّةَ وَاحِدَةً؛قل من هِيَ يارسول اللة ؟ قال ما انا علية واصحا بي  
Terjemahnya: Sesunggunya bani Israil telah berpecah belah menjadi 72golongan, dan umatku nanti akan terpecah menjadi 73 golongan, semuanya itu akan masuk neraka kecuAli hanya satu golongan tidak. Para sahabat bertanya: siapakah golongan yang satu itu ya Rasulullah? Jawab nabi: itulah golongan yang menjalankan sebagaimana yang aku jalankan bersama para sahabatku”.
Dan hadits nabi yang lain, misalnya riwayat Ibn Majah dan Ahmad Bin Hanbal dari Anas Bin Malik Nabi menjawab pertanyaan para sahabat dengan mengatakaan
Bahkan dalam riwayat al-thabarani, jawaban nabi lebih dipertegas lagi dengan mengatakan :
Pelopor kebangkitan golongan Ahlusunnah Wal-Jama’ah diantaranya adalah Abu Hasan Al-asy’ari (873-935) ia lahir di Bashrah, tapi besar di Bagdad. Al-Asy’ari pada mulanya adalah pengikut Muktazilah, murid dari  Al-Jubbai, seorang ulama besar Muktazilah, dan bapak tirinya sendiri. akan tetapi pada usia sekitar 40 tahun, Al-Asy’ari beralih menjadi penganut faham ortodoks (Ahlusunnah) yang kemudian teoritikus dan arsitek bagi pembangunan sistem teologi Sunniy dengan berhasilnya merumuskan sistem kepercayaan yang secara umum di anut oleh kaum muslimin sejak dari zaman Rasulullah dan sahabatnya. Faham yang dibangun oleh Al-Asy’ari ini kemudian dikenal dengan golongan Al-Asy’ariyah.
Faham Al-Asy’ariyah ini pada mulanya dicurigai oleh kaum muslimin, sebab faham ini pada dasarnya merupakan suatu modus vivendi  antara faham Qadhariyah dan Jabariyah dan antara faham Musyahibbihah (yang mensifatkan Tuhan sama dengan sifat makhluknya) dengan faham Muktazilah (yang  menentang adanya sifat Tuhan). Tetapi berkat pengaruh imam  Al-Gazali seorang penganut faham  Asy’ariyah, maka semakin populerlah faham Asy’ariyah dan pada akhirnya diterima secara utuh oleh masyarakat Islam pada umumnya sebagai sistem teologi satu-satunya dalam dunia Islam.
Sebenarnya, sebelum Al-Asyari telah ada seorang tokoh Ahlusunnah yang mencoba mempelopori bangkitnya faham ini, yaitu imam Abu Manshur Al–Maturidi (852-944) seorang ulama penganut faham Hanafi di bidang fikhi, berbeda halnya dengan Al-Asy’ari yang menganut faham Syafi’i dalam bidang fikhih. Al-Maturidi ini lebih populer dikalangan masyarakat Islam yang berada di daerah timur sungai Eufrat Tigris (Samarkand)

II.    PENGERTIAN AHLU SUNNAH WAL-JAMA’AH
Pengertian Ahlusunnah Wal-Jama’ah dilihat dari sudut istilah ialah:
Kata Ahlun (أهل) berarti pengikut atau penganut.
Kata sunnah (السنة) berarti segala ajaran yang datang dari Rasulullah SAW. Baik dalam bentuk perkataan, perbuatan maupun taqrir (persetujuan nabi yang termanifestasikan pada diamnya beliau menghadapi perkataan dan perbuatan para sahabat pada masa beliau masih hidup).
Kata Al-Jamaah (الجماعة) yang berarti:
1.      Jamaah sahabat
2.      Al-Khulafaur-Rasyidin, yaitu Abu Bakar, Umar, Usman dan Ali.
3.      Kesatuan umat Islam yang telah mangakui/mengikuti pemerintahan yang sah
4.      Al-Sawad Al-A’dzam (golongan yang terbesar) dari kaum muslimin.
5.      Para imam mujtahid (Hanafi, Maliki, Syafi’i dan Hambali)
6.      Doktrin Abu Hasan Al-Asy’ari dan imam Abu Manshur Al-Maturidi.

Dari rangkaian arti dalam peristilahan di atas, dapatlah diketahui pengertian Ahlusunnah Wal-Jama’ah sebagai ajaran dari satu golongan, yaitu golongan kaum muslimin yang dalam melaksanakan ajaran syariat agamanya di bidang tauhid (Iman), fikhih (Islam) dan tasauf (Ihsan) senantiasa:
1.                  Berpegang teguh pada Al-Qur’an dan sunnah Rasulullah SAW.
Al-Qur’an merupakan sumber azali, sedangkan sunnah Rasulullah SAW, merupakan sumber bayani (penjelas) Al-Qur’an. Keduanya merupakan sumber utama ajaran Islam, sesuai dengan sabda nabi dalam riwayat imam Malik yang berbunyi:
تَرَكْتُ فِيْكُمْ أَمْرَيْنِ لَنْ تَضِلُّوْا مَا تَمَسَّكْتُمْ بِهِمَا : كِتَابَ اللهِ وَ سُنَّةَ رَسُوْلِهِ
Terjemahnya: Äku tinggalkan di tengah-tengah kamu dua hal, dimana kamu tidak akan tersesat selama kamu berpegang teguhkepada keduanya; yaitu kitab Allah dan sunnah rasul-nya”.
2.                  Berpegang teguh pada sunnah Khulafaur Rasyidin
Khulafaur-Rasyidin adalah orang yang benar-benar ikhlas terhadap agama Allah (Islam). Di samping itu, beliau adalah orang dekat dan mengerti benar ajaran agama yang di bawa Rasulullah SAW. Oleh sebab itu, golongan Ahlusunnah berpegang teguh atas sunnah para Khulafaur Rasyidin. Hal ini di dasarkan kepada sabda nabi dalam riwayat Abu daud dan al-turmizi dari abi najih yang berbunyi:
.....فا نة من يعش منكم فسيري اختلافا كثيرا، فعليكم بسنتي وسنة الخلفاء الراشدين المهديين عضوا عليها با لنواخذ....
Terjemahnya: “…….sesungguhnya siapa diantaramu yang hidup  sesudahku, niscaya dia akan melihat perselisihan faham yang banyak. Maka dalam situasi demikian, pegang teguhlah sunnahku dan sunnah pada Khulafaur Rasyidin yang di beri hidayah…….”.
Menurut Syeh Ibn ‘Afif dalam kitab Arba’in Al-Nabawi-yah bahwa dimaksud dengan sunnah Khulafaur Rasyidin itu adalah sunnah Abu Bakar, Umar, Usman, dan Ali. Sunnah yang mereka cetuskan itu berdasarkan Al-Qur’an dan sunnah Rasulullah SAW.

3.                  Berpegang teguh pada sunnah sahabat nabi pada umumnya
Menghormati para sahabat nabi dan memegang fattwa dan jejak mereka (sunnahnya) adalah termasuk salah satu dari prinsip ajaran Ahlusunnah Wal-Jama’ah.  Dalam kaitan ini, Rasulullah dalam salah satu sabdanya menegaskan:
ان اصحا بي كا لنجوم بأ يهم افتد يتم اهتم اهتديتم.
Terjemahnya: “Sesungguhnya sahabat-sahabatku laksana bintang-bintang kepada yang mana saja kamu semua mendapat petunjuk”.

4.                  Berpegang teguh pada ijmak
Ijmak adalah kesepakatan para ulama mujtahid sesudah wafatnya nabi muhammah SAW. Terhadap sesuatu masalah pada suatu masa yang tidak terdapat nashnyadalam Al-Qur’an ataupun sunnah Rasulullah SAW. Dalam  salah satu hadits Rasulullah riwayat al-turmizi dari ibn Umar dijelaskan:
إِنَّ اللهَ لاَ يَجْمَعُ أُمَّتِي عَلَى الضَّلاَلَةِ، وَيَدُ اللهِ مَعَ الْجَمَاعَةِ، وَمَنْ شَذَّ شَذَّ إِلَى النَّارِ
Terjemahnya: “Sesungguhnya Allah tidak akan mengumpulkan umatku dalam kesesatan. Dan tangan (kekuasaan) Allah bersama jamaah, dan barang siapa mengasingkan diri dari jamaah, maka terasinglah mereka ke dalam neraka”
5.      Berpegang teguh pada mazhab imam mujtahid sekiranya ia bukan ahli ijtihad.
Ijtihad dimaksudkan ialah jika sekiranya dalam Al-Qur’an dan sunnah Rasulullah tidak diketemukan nash tentang hukumnya atas sesuatu maka di benarkanlah ijtihad; yakni meggunakan seluruh kesanggupan untuk menetapkan hukum syariat.
Tentang ijtihad ini, dalam suatu hadits, Rasulullah SAW. Menegaskan bahwa:
.للمنجتهد اجران ان أصاب، واحد ان أخطأ.
Terjemahnya: “Bagi seorang yang melakukan ijtihad, apabila ijtihadnya benar ia mendapat dua pahala, dan sekiranya ia salah ia masih mendapat satu pahala”. (H.R. Bukhori Muslim).
Ijtihad sebenarnya terbagi dua macam, yaitu ijtihad Jam’iyan yang juga biasa disebut ijmak, sebagaimana yang telah di jelaskan, dan ijtihad Fardhiyyan (perseorangan), yakni dilakukan oleh setiap pribadi yang ahli dalam berijtihad dengan berbagai persyaratannya. Persyaratan minimal yang harus dimiliki oleh seorang mujtahid adalah:
a.       Mengetahui bahasa arab dengan segala ilmunya
b.      Mengetahui betul nash Al-Qur’an dan sunah Rasulullah SAW.
c.       Mengetahui ijmak
d.      Mengetahui ushul fikhi, dan
e.       Mengetahui nasikh dan mansukh.
Orang yang memenuhi persyaratan minimal ini kemudian melakukann ijtihad secara langsung merancang sendiri dari dalil-dalil yang pokok, yaitu Al-Qur’an dan sunnah, di sebut mujtahid Mustaqil. Akan tetapi bagi mereka yang tidak memenuhi persyaratan minimal di atas tidak dibenarkan ijtihadnya, sebab memungkinkan timbulnya anarchis dalam  penetapan hukum.
6.      Berpegang teguh pada faham golongan terbesar di kalangan umat Islam
Kenyataan adanya firqah dikalangan umat Islam menimbulkan konsikuensi lahirnya masalah khilafiyah, sejauh masalah khilafiyah itu terbatas pada bidang furu’iyah, yakni perselisihan pendapat para mujtahid yang terjadi dalam masalah penetapan hukum syariat, maka hal itu tetap akan menjadi rahmat bagi umat Muhammad. Akan tetapi apabila masalah khilafiyah itu menyangkut bidang aqidah, maka dalam hal ini akan terjadi pergesekan nila, membawa bencana terhadap umat Muhammad karna akan muncul golongan mu’taqad yang menyimpang dari ajaran Islam yang sebenarnya. Dalam hal ini ajaran Ahlusunnah Wal-Jama’ah memegang prinsip Al-Aswad Al-A’zham, sebagaimana yang di jelaskan oleh Rasuullah dalam salah satu sabdanya riwayat Ibn Majah yang berbunyi:
فاذارايتم اختلافا فعليكم بالسوادالأعظم مع الحق واهله.
Terjemahnya: “Jika sekiranya kamu melihat perselisihan pendapat, maka pegang teguhlan pendapat golongan terbesar yang bersama kebenaran dan mempunyai kaahlian (ahli ijtihad)”.

Adapun golongan terbesar dalam dunia Islam dapat dilihat dari segi luasnya daerah dang didiami dan jumlah penganutnya.  

7.      Berpegang teguh pada aqidah rumusan imam al-asyari dan imam al-maturidi
Imam Abu Hasan Al-Asy’ari lahir di Bashrah Irak pada tahun 260 H. dan wafat disitu juga pada tahun 325 H. nama lengkapnya adalah Abu Hasan Bin Ali Bin Ismail Bin Abdillah Bin Musa Bin Bilal Bin Abi Burdah Bin Musa Al-Asyári. Adapun Abu Manshur Al-Maturidi dilahirkan disuatu desa yang bernama Maturidi daerah Samarkand, Asia kecil, pada tahun 333 H. nama lengkapnya adalah Muhammad bin Muhammad bin Mahmud.
Beliau berdua adalah tokoh pembangun aqidah Ahlusunnah Wal-Jama’ah dengan satu rumusan yang sistematis guna menjamin kelestarian I’tiqad yang telah di I’tiqad-kan oleh Rasulullah SAW dan para sahabatnya jauh sebelum Abu Musa Al-Asy’ari dan Abu Manshur Al-Mathuridi dilahirkan ke dunia.


Note: Artikel ini disadur dari majalah suara DDI edisi I tahun 2000






ASWAJA AKHLAQI IMDI
Oleh : Nur Khaliq
Aswaja Akhlaqi adalah Aswaja yang sama saja dengan aswaja lainnya, baik dari sisi historis, imam mazhab rujukan, prinsip-prinsip, dst. Hanya saja, aswaja akhlaqi dalam konteks kaderisasi IMDI. hadir sebagai respon terhadap fakta bahwa terjadi kesenjangan dalam pemahaman antara teori dan amal keseharian yang sayangnya di alami oleh hampir semua kader organisasi yang berhaluan Ahlu sunnah wal-jamaah.
Aswaja bagi sebagian orang dalam kenyataannya tidak mampu di hayati sepenuhnya. Banyak orang yang mengklaim diri sebagai penganut aswaja, mempropagandakan aswaja, Bahkan mengajarkan aswaja. Namun dalam kehidupan sehari-harinya justru mengamalkan mazhab atau ideology lainnya. Kesenjangan itu dapat ditemukan Bahkan hampir disemua bidang kehidupan, baik dalam beraqidah, bermasyarakat hingga berbangsa dan bernegara. Banyak orang yang Bahkan hafal teori dan prinsip  ahlusunnah wal jamaah, namun ketika dihadapkan pada dua persoalan yang menarik mereka pada keberpihakan antara kutub-kutub ekstream, mereka biasanya tidak mampu memposisikan diri sebagaimana prinnsip aswaja yang mereka hafalkan. Banyak yang mengklai diri aswaja, namun hidup pasif dan tidak bersemangat layaknya Murjiah. Banyakpula yang mempropagandakan diri sebagai aswaja, namun liar dalam berfikir seperti Muktazilah. Atau mereka yang jusrtru terjebak dalam ekstremisme-radikal, mengagunkan simbolisme dan bersemangat dengan ideology takfiri layaknya khawarij, namun tetap mengklaim diri sebagai aswaja, dan banyak model-model penganut lainnya.
Lebih jauh dari itu, bagi DDI dan IMDI, Aswaja bukan hanya sebatas kompilasi mazhab, atau manhaj, namun ia merupakan Aqidah yang menjadi dasar amal dan ibadah seluruh warga DDI. Ini berarti, setiap kader DDI dituntut menerapkan aswaja seutuhnya Aswaja sebagai jalan hidup semua  kader. Luasnya cakupan Aswaja dalam bentuk Aqidah organisasi inilah yang melatarbelakangi perlunya di buatkan format Aswaja yang dapat secara implikatif di gunakan dan di terapkan dalam jenjang kaderisasi IMDi.
Selain itu, dengan adanya metodologi tersebut, kaderisasi IMDI khususnya dalam bidang pemahaman dan pengamalan aswaja ini akan dapat diukur secara objektif dan terarah. Serta menjadi corak tersendiri yang akan menjadi identitas identik kader-kader IMDI ditengah masyarakat.
Aswaja Aqhlaqi IMDI sendiri bukanlah konsep yang baru, gagasan ia lahir dari perenungan mendalam dan pencarian dari saripati-saripati Aswaja yang selama ini di imami oleh berbagai golongan dan aliran yang memegang teguh aswaja baigk sebagai mazhab, manhaj maupun aqidah. Selain itu, penyelaman atas tradisi spiritualitas dan admosfer intelektual kalangan warga DDI juga menjadi penentu penting dari perumusan poin-poin aswaja akhlaqi.
Poin-poin Aswaja Aqhlaqi IMDI yang menjadi metodologi kaderisasi itu adalah: Takhalli, Tahalli dan Tajalli. Konsep ini di ambil dari rumusan “Hujatul Islam” Al Gazali (1111) yang juga merupakan kiblat imam Aswaja dalam bidang tasauf.
Poin-poin Aswaja akhlaqi ini, selain cocok dengan corak tasauf dan gerakan spiritual yang selama ini menjadi jalan jihad IMDI-DDI, juga sangat tepat diaktualisasikan sebagai metode kaderisasi, karna berbentuk metodologis yang berisi stape by stape atau langkah demi langkah dalam menempuh jalan menuju kesempurnaan keperibadian mursyid.
Dengan metodologi dan model Aswaja kaderisasi seperti ini, diharapkan kader-kader IMDI nantinya tidak hanya mampu menghafal konsep Aswaja secara teoritis, namun lebih jauh dari itu, mampu memahami dan mengamalkan Aswaja dalam kehidupan sehari-harinya, sebagai Aqidah dan jalan hidup Mursyid(ah) pengabdi, sebagaimana yang diharapkan oleh para Anregurutta.     

Tidak ada komentar:

Posting Komentar