fase-fase perkembangan IMDI
Risalah IMDI
Latar IMDI
IMDI adalah badan otonom DDI. Setidaknya
demikianlah pengertian dasar dan jawaban sederhana yang banyak dipahami dengan baik
oleh banyak orang, baik internal kader DDI maupun orang-orang di luar keluarga
Addariah. Namun, apakah sesungguhnya IMDI dan bagaimana ia?. Jawaban dari
pertanyaan ini akan sulit dan butuh waktu lama untuk di jelaskannya.
Ikatan Mahasiswa DDI yang kemudian di singkat
IMDI lahir 10 Koktober 1969 yang bertepatan dengan mukhtamar DDI yang ke XI di
Watan Soppeng.[1].Secara
historis, kelahiran IMDI dilatarbekangi oleh kondisi cultural masyarakan
Sulawesi yang secara umum telah memiliki peningkatan dalam melek huruf dan
pendidikan. Hal ini setidaknya direpresentasika oleh banyaknya alumni dari
berbagai pondok pesantren dan atau Madrasah Aaliyah/SMA DDI yang melanjutkan
pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi, yang dikemudian hari menjadi alas an
dari dibutuhkannya sebuah lembaga/badan khusus yang menaungi aktifitas
kemahasiswaan DDI.
Selain itu, sejak tahun 1963 Pengurus Besar DDI
yang waktu itu dinahkodai oleh langsung oleh Anregurutta Ambodalle, telah
rintis pembukaan Al-Jami’ah Al Islamiyah Ad-Dariyah atau
Universitas Islam DDI yang kemudian di singkat UI-DDI Ad-Dariyah. Pendirian
universitas ini tentunya sebagai wadah lanjutan dari alumni-alumni madrasah
aliyah/ SMA DDI yang ingin melanjutkan minat dan niatnya untuk menuntut ilmu
kejenjang lebih tinggi. Efektif dan terselenggaranya UI-DDI dalam menjalankan
fungsi pendidikannya kemudian banyak mencetak mahsasiswa dan ulama-ulama yang
professional di bidangnya. UI-DDI yang merupakan salah satu universitas tertua
di Sulawesi bahkan di Indonesia Timur. Mahasiswa DDI yang semakin meningkat
dalam kualitas maupun kuantitasny dikemudian hari banyak beraktifitas dan
bersentuhan langsung dengan kerja-kerja membesarkan DDI. Dari sini, muncullah
gagasan untuk menampung kreatifitas dan darah juang pemuda DDI ini dalam bentuk
wadah pelatihan dan diklat sebagai jalur kekaderan kepemimpinan DDI.[2]
Pada perkembangan selanjutnya, terbitnya
peratuan pemerintah tentang persyaratan pendirian universitas yang mensyaratkan
adanya fakultas yang membina ilmu eksakta, memaksa UI-DDI dengan 8 fakultas
tersebar di berbagai daerah tingkat II di Sulawesi Selatan dan semuanya hanya
fakultas ilmu agama, turun status menjadi Sekolah Tinggi Agama Islam (STAI)
atau Instiusi Agama Islam (IAI).yang hingga kini masih berjalan dan tidak
menunjukkan perkembangan yang signifikan.
Dalam perkembangan selanjutnya, Latar historis
dan kondisi kontekstual seperti di atas-lah yang melatarbelakangi PB DDI dan Mursyid Muhibuddi (Selaku
Pimpinan Pusat Pertama) dan kawan-kawan merintis pembentukan IMDI.[3] Pada
awal berdirinya, IMDI fase pertama ini tidaklah berbentuk sebuah organisasi
yang memiliki struktur kepengurusan dan system kerja structural layaknya
organisasi moderen, namun lebih kepada kelompok-klompok atau study
club mahasiswa DDI yang secara kultur rutin hadir dan meluangkan
gaggasan dan pengabdiannya dalam membesarkan induk organisasi. Pada fase awal
atau fase embriologis ini, secara umum kegiatan IMDI tidak begitu nyata dan
signifikan, Bahkan ada ungkapan familiar yang sering disematkan oleh beberapa
orang ketika menyebut IMDI pada priode ini, bahwa “IMDI itu Laa Yamutu Fihaa
Wa-laa Yahya” yang artinya “IMDI yang tidak hidup dan tidak pula
mati”. Kondisi ini tentu dapat di maklumi, selain dikarnakan belum terbentuknya
struktur organisasi secara kelembagaan, serta orientasi gerakan IMDI yang masih
dikerahkan untuk mensukseskan kegiatan-kegiatan DDI, juga dikarnakan kondisi
kenegaraan secara umum yang masih belum stabil pasca revolusi dann akibat ekses negative
dari berbagai pemberontakan, terutama pemberontakan DI/TII yang becokol
dan beroprasi di wilayah Sulawesi lebih dari 20 tahun lamanya, yang juga
merupakan basis DDI. Pada masa ini, kondisi bangsa yang masih dalam proses
pergolakan mencari bentuk juga secara emosional mempengaruhi karakter mahasiswa
secara keseluruhan. Tercatat dalam rentan dasawarsa ini, bangsa ini mengalami
beberapa kali pergantian kontitusi untuk menemukan konfigurasi negara ideal dan
mencapai kestabilan kondisi. Mulai dari bentuk Negara Proklamasi Republik
Indonesia (RI) pada 17 Agustus 1945, kemudian negara RI Serikat 1949, lalu
berubah menjadi negara RI Sementara 1950, selanjutnya menjadi Negara Dekrit 5
Juli 1959, pada era perang dingin 1963 (plus Papua) dan tahun 1974 (plus Timor
Timur), yang juga di ikuti berkali-kali perombakan cabinet.
Secara umum gambaran aktifitas
kemahasiswaan disemua kampus-kampus pada dasawarsa ini sedang dalam upaya
membangun visi kebangsaan dan model kenegaraan ideal. Dalam suasana lingkungan
revolusi yang dinamis ini, aktivitas IMDI embriologis juga lebih banyak
berfokus pada peningkatan kualitas pendidikan DDI, usaha pelebaran sayap DDI,
pembangunan kekuatan ekonomi dan intesifikasi dakwah dalam lingkup
masyarakat Addariay dan masyarakat pada umumnya.
Fase selanjutnya adalah fase organisasional.
Fase ke-dua ini berlangsung sekitar tahun 1980an yang ditandai dengan
terbentuknya kepengurusan structural, di sepakatinya peraturan dasar dan
peraturan rumah tangga (PD/PRT) IMDI, dan mulai diadakannya peroses rekrutmen
kader serta proses kaderisasi berjenjang secara formal. Namun, meski IMDI telah
memiliki kepengurusan structural, wilayah kerja dan garapan organisasi
ini masilah tetap lebih berfokus pada usaha untuk menyokong dan mensukseskan
kegiatan-kegiatan besar DDI. Pada fase ini, kader-kader IMDI lebih banyak
berperan serta sebagai panitia pelaksana dan menjadi pekerja pada acara-acara
besar DDI, terutama pada acara mukhtamar DDI. hal ini tentu dikarnakan selain
mahasiswa DDI dapat bersilaturahmi kembali dengan guru-guru mereka di MA atau
pesantren dahulu, juga lebih di dasarkan karna mukhtamar DDI biasanya juga
dirangkaikan dengan kongres seluruh badan otonom DDI lainnya.
Selanjutnya, dari sisi pemahaman dan pemaknaan
kader-kader tentang IMDI, mursyid(ad) IMDI fase ini lebih memaknai IMDI sebagai
organisal yang bersifat local kedaerahan. Kader-kader IMDI fese ini menilai
organisasi ini hanya beroprasi sebatas di Sulawesi saja dan tidak mengusahakan
untuk ekspangsi ke luar daerah. Selain itu, IMDI yang tumbuh dan berkembagn
bersama dan berbaur dengan organisasi/lembaga lain yang telah lebih dahulu
besar, mendapat banyak pengaruh dari HMI maupun PMII. Hampir bias di kata,
seluruh prangkat organisai baik secara kultur maupun structural, terinpirasi
atau bahkan copy-an dari HMI atau PMII. Dalam kondisi seperti ini, mucul stigma
yang mengaitkan IMDI atau bahkan DDI sebagi organisasi yang sama saja dengan
PMII-NU atau HMI-Muhammadiyah.
Fase ke-tiga dari perkembangan IMDI ialah fase
kemandirian. Fase ini berlangsung sekitar tahun 2000an. IMDI pada periode
ini secara structural telah mampu mengadakan konges mandiri dan lepas dari
badan otonom DDI lainnya. Kaderisasi IMDI pada periode ini lebih massif dan
sistematis terutama setelah diwajibkannya seluruh mahasiswa DDI untuk mengikuti
Diklat Kader Dasar (DKD) IMDI sebagai syarat utama untuk penyelesaian kuliyah
atau KKN mahasiswa STAI/IAI DDI.
Realitas bahwa kampus-kampus STAI atau IAI DDI
juga merupakan basis kader dari HMI dan PMII juga menbawa dampak pada tidak
mampunya IMDI untuk mengembangkan corak dan identitas sendiri. kader-kader IMDI
secara keseluruhan mencirikan atau didominasi oleh warna dan corak dari
organisasi lain. Pada fase ini pula, muncul stigma bahwa . “Jika kampus di
dominasi oleh HMI, maka IMDI berasa HMI, jika kampus di dominasi PMII,
maka IMDI berasa PMII”.
Selain itu, pada priode ini, paradigma IMDI
sebagai organisasi local masih tetap terpelihara, meski pada kenyataannya IMDI
telah mampu melebarkan sayapnya ke beberapa provinsi selain dari Sulawesi
Selatan.
Fase ke-empat dari perkembangan IMDI adalah fase
Ideologis. Fase ini berlangsung sekitar tahun 2010an. Efisiensi organisasi
serta pendokumentasian yang lebih baik menjadi cirri utama fase ini. Selain
itu, peningkatan nalar kritis kader-kader IMDI dalam menilai dan memaknai
realitas kekinian juga membawa dampak perubahan yang besar bagi IMDI. Dari
perubahan nalar kritis ini kemudian memunculkan keresahan dan keinginan
kader-kader IMDI untuk merumuskan sendiri identitas spesifik yang menjadi corak
identik yang nantinya membedakan IMDI dengan organisasi lainnya. Terbentuknya
identitas dan karakter spesifik kader IMDI ini beimplikasi pada tuntutan segera
dirumuskannya model dan metode kaderirasi yang lebih spesifik. Model dan metode
spesifik ini dapat di lihat dari lahirnya Aswaja yang bercorak IMDI yang
kemudian di sebut dengan Aswaja Akhlaqi dan NDP IMDI.
Namun demikian, setiap aksi meniscayakan
reaksi. Fase ideologis ini juga di tandai dengan gejolak internal organisasi
karna pergeseran berbagai pradigma dalam menilai IMDI. Mulai dari perubahan
arah pengembangan organisasi hingga cara pandang yang memvisikan IMDI sebagai
organisasi berkelas Nasional, bukan lagi sebagai organisasi local sebagaimana
anggapan generasi IMDI terdahulu. Selanjutnya, dengan perobahan paradigm ini,
kini, kader-kader IMDI dengan penuh percaya diri “berdiri sama tinggi
dan duduk sama rendah” sejajar dengan organisasi lain seperti
HMI,PMII,IMM,GMKI,GMNI,KAMMI,PEMKRI dll, dalam upaya bahu-membahu bergotong
royong membangun peradaban bangsa.
IMDI percaya, bahwa peradaban bangsa besar ini
tidak mampu di bangun dengan hanya mengandalkan perpaduan warna hijau-hitam
saja, atau biru-kuning saja, namun harus dengan partisipasi dari seluruh elemen
warna dan usaha dari semua warga, termasuk amal pengabdian dari mursyid
hijau-kuning IMDI. Saling bahu-membahu dalam dinamisasi dan dialektika, dalam
semangat kekeluargaan dan kesetaraan. Seperti sebuah orchestra yang berisi
berbagai alat music yang berbeda-beda namun panduan pada paduannya justru menghasilkan
sinfoni nada yang indah. Demikianlah Indonesia, berbeda-beda tetap satu jua.
Bersambung.........
[3]Sudirman Hadisa. Wawancara.
Parepare. Dalam sesi Rapat Pimpinan Nasional (RAPIMNAS IMDI) yang diadakan di
Wisata Alam Ladoma Kota Parepare Pada tanggal 13 – 15 Februari 2017
Tidak ada komentar:
Posting Komentar